KHOTBAH 171- Tentang Panitia Syura dan Perang Jamal

Segala puji bagi Allah yang dari pandangan-Nya satu langit tidak menyembunyikan satu langit yang lain, dan satu bumi (tidak menyembunyikan) bumi yang lain.

Sebagian dari Khotbah yang Sama, Tentang Panitia Syûrâ setelah Wafatnya 'Umar ibn Khaththab


Seseorang berkata kepada saya, "Wahai putra Abii Thalib, engkau sangat menginginkan (jabatan) kekhalifahan."[1] Lalu saya katakan kepadanya:

"Malah, demi Allah, Anda lebih serakah, walaupun lebih jauh, sementara saya lebih sesuai maupun lebih dekat. Saya telah menuntutnya sebagai hak saya, sedang Anda menghalang antara saya dan (jabatan khalifah) itu, dan sekarang Anda hendak memalingkan wajah saya darinya." Ketika saya mengetuk telinganya dengan hujah di antara orang banyak dari yang hadir, ia kaget seakan-akan ia terpukau tak tahu memberi jawaban apa kepada saya tentang hal itu.

Ya Allah, Tuhanku! Saya memohon pertolongan-Mu terhadap Quraisy dan orang-orang yang membantu mereka, karena mereka menyangkali saya (akan hak) kekerabatan, merendahkan kedudukan saya yang tinggi, dan bersatu dalam menentang saya dalam hal (kekhalifahan) yang merupakan hak saya, dan kemudian mereka katakan, "Ketahuilah bahwa yang benar ialah bahwa Anda mempunyainya dan bahwa Anda dapat meninggalkannya."[2]

Sebagian dari Khotbah yang Sama Menggambarkan Kaum Jamal


Mereka (Thalhah dan Zubair serta para pendukungnya) keluar dengan menyeret istri Rasulullah (saw) seperti seorang budak perempuan diseret untuk dijual. Mereka membawanya ke Bashrah di mana kedua orang itu (Thalhah dan Zubair) menempatkan perempuan mereka sendiri di rumah, tetapi menampakkan istri Rasulullah kepada mereka sendiri dan kepadaorang-orang lain dalam tentara di mana tak ada seorang pun yang tidak menawarkan ketaatannya kepada saya dan membaiat saya dengan sangat taat, tanpa suatu paksaan.

Di sini di Bashrah mereka mendatangi gubernur saya dan bendaharawan baitul mâl dan penduduk lainnya. Mereka membunuh sebagiannya dalam tawanan dan yang lainnya dengan pengkhianatan. Demi Allah, sekalipun apabila mereka hanya membunuh satu orang saja dari kalangan muslimin tanpa suatu kesalahan dengan sengaja, akan halal bagi saya untufcl membunuh seluruh tentara ini, karena mereka hadir di dalamnya tetapi tidak keberatan dengannya dan tidak mencegahnya dengan lidah atau tangan, apalagi mereka telah membunuh dari antara kaum Muslim sejumlah yang sama dengan yang mereka datangi.• 

--------------------------------------------------------------------------------

[1] Pada saat Panitia Musyawarah itu, Sa'd ibn Abu Waqqash mengulangi kepada Amirul Mukminin apa yang telah dikatakan oleh Khalifah 'Umar ibn Khaththab pada saat-saat terakhirnya, yakni, "Hai, 'Ali, engkau sangat serakah akan kedudukan khalifah," dan 'Ali menjawab, "Orang yang menuntut haknya sendiri tak dapat disebut serakah; malah, yang serakah adalah orang yang mencegah orang untuk mendapatkan hak dan berusaha untuk merebutnya padahal tak pantas baginya."

Tiada ragu bahwa Amirul Mukminin memandang jabatan khalifah sebagai haknya, dan ia menuntut haknya. Tuntutan atas suatu hak tidaklah menghilangkan hak itu; karenanya hal itu tak dapat dikemukakan sebagai dalih untuk tidak memberikan kepadanya jabatan khalifah itu, dan tuntutan itu tak dapat dianggap sebagai tanda serakah. Sekiranyapun itu keserakahan, bagaimana dengan yang lain-lainnya? Bukankah perebutan antara kaum Muhajirin dan Anshar, perjuangan antara sesama anggota Panitia Syura dan pembuatan bencana oleh Thalhah dan Zubair merupakan produk dari keserakahan? Apabila Amirul Mukminin seralah untuk jabatan itu, tentulah ia telah bertempur untuk itu, menutup mata terhadap konsekuensi dan akibatnya ketika 'Abbas (paman Nabi) dan Abu Sufyan mendesaknya untuk menerima baiat; dan ketika, setelah Khalifah 'Utsman, rakyat mendorongnya untuk membaiat, tentulah ia telah menerima tawaran mereka tanpa mempedulikan keadaan yang telah membusuk itu. Tetapi, tak pernah Amirul Mukminin mengambil suatu langkah yang dapat membuktikan bahwa ia menghendaki jabatan khalifah demi jabatan khalifah itu sendiri; tuntutannya untuk jabatan khalifah itu hanyalah dengan tujuan agar wajah kakhalifahan tak diubah dan agama tak menjadi korban hawa nafsu, bukan agar ia dapat menikmati kesenangan hidup yang diatributkan pada keserakahan.

[2] Ketika menerangkan maknanya, Ibn Abil Hadid menulis bahwa maksud Amirul Mukminin ialah:

"Mereka (orang Quraisy dan orang-orang yang membantu mereka) bukan hanya puas untuk menjauhkan saya dari hak saya atas jabatan khalifah yang telah mereka serobot (dari saya), tetapi malah mengklaim bahwa jabatan itu adalah hak mereka, apakah akan memberikannya kepada saya atau mencegah saya darinya, dan bahwa saya tidak berhak untuk berhujah dengan mereka."

Lagi pula maksud (Amirul Mukminin) itu ialah:

"Apabila mereka tidak mengatakan bahwa adalah hak untuk menjauh dari jabatan khalifah, akan mudah untuk bersabar atasnya, karena, sekurang-kurangnya, ini akan menunjukkan bahwa mereka mengakui hak saya walaupun mereka tidak sedia untuk menyetujuinya.(Syarah Nahjul Balâghah, ix, h.306)