KHOTBAH 208- Amirul Mukminin pergi menjenguk kesehatan sahabatnya al-'Ala' ibn Ziyad al-Hâritsî dan ketika ia melihat besarnya rumahnya ia berkata

Apa yang akan Anda lakukan dengan rumah besar di dunia ini, padahal Anda lebih memerlukan rumah ini di dunia akhirat. Apabila Anda hendak membawanya ke akhirat, Anda dapat menerima di dalamnya tamu-tamu dan bersikap menghormati persaudaraan dan menjalankan semua kewajiban (Anda) menurut pertambahan besarnya. Dengan jalan ini Anda akan mampu membawanya ke akhirat.

Al-'Alâ' berkata kepadanya: Ya Amirul Mukminin, saya hendak mengaduh kepada Anda tentang saudara saya, 'Ashim ibn Ziyad.

Amirul Mukminin bertanya: Ada apa dengan dia?

Al-'Alâ' berkata: la memakai baju bulu domba (kasar) dan menjauhkan dirinya dari dunia.

Amirul Mukminin berkata: Hadapkan dia kepada saya.

Ketika ia tiba, Amirul Mukminin berkata: Wahai musuh diri Anda sendiri. Sungguh iblis telah menyesatkan Anda. Apakah Anda tidak merasa kasihan kepada istri dan anak-anak Anda? Apakah Anda percaya bahwa apabila Anda memakai pakaian yang dihalalkan Allah bagi Anda maka la tidak akan menyukai Anda? Anda terlalu tak penting bagi Allah untuk itu.

la berkata: Ya Amirul Mukminin, Anda pun memakai pakaian kasar dan memakan makanan kasar.

Kemudian ia menjawab: Celakalah Anda, saya tidak seperti Anda. Sesungguhnya Allah Yang Mahatinggi telah mewajibkan pada pemimpin yang sesungguhnya supaya mereka memelihara diri pada tingkat rakyat yang rendah sehingga orang miskin tidak menangis karena kemiskinannya.[1] •

--------------------------------------------------------------------------------

[1] Sejak zaman dahulu kala kepertapaan dan meninggalkan hubungan dengan urusan duniawi telah dipandang sebagai suatu sarana untuk penyucian rohani dan penting bagi karakter. Orang-orang yang ingin menjalani kehidupan pertapa dan meditasi biasa meninggalkan kota untuk ke hutan dan gua-gua di gunung dan tinggal di sana sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan sesuai dengan konsepsi mereka sendiri. Mereka makan apabila kebetulan ada musafir lewat atau apabila penduduk di sekitar memberikan makanan kepada mereka; apabila tidak maka mereka berpuas diri dengan memakan buah-buahan hutan dan air sungai, dan demikianlah mereka menjalani kehidupannya. Ibadah semacam ini dimulai secara terpaksa karena penindasan dan kekerasan para penguasa. Orang-orang tertentu meninggalkan rumahnya untuk mengelakkan cengkeraman penguasa lalim, ber-sembunyi di hutan atau gua di gunung dan menyibukkan diri dalam ibadah dan pengabdian kepada Allah. Kemudian, kepertapaan yang terpaksa itu beroleh bentuk sukarela dan orang mengundurkan diri ke gua-gua atas kehendak mereka sendiri. Dengan demikian maka menjadi lumrah bahwa barangsiapa yang hendak mengembangkan rohaninya harus menyingkir ke suatu sudut setelah memutuskan diri dari ikatan duniawi. Metode ini tetap menjadi mode selama berabad-abad, dan hingga kini pun masih ada jejak-jejak perIbadahan secara ini di kalangan kaum Hindu, Buddha dan Kristen.

Namun, pandangan moderat Islam tidak sesuai dengan hidup kebiharaan dan kepertapaan. Untuk mencapai perkembangan rohani, Islam tidak menolak kenikmatan dan keberhasilan duniawi, tidak pula Islam membenarkan bahwa seoiang Muslim harus meninggalkan rumahnya dan sesama manusia lalu menyibukkan diri dalam perIbadahan formal sambil bersembunyi di suatu sudut. Konsepsi peribadahan Islam tidak terbatas pada beberapa upacara tertentu; Islam memandang perolehan rezeki melalui cara yang halal, saling bersimpati dan berperilaku baik, dan bekerjasama serta saling membantu merupakan unsur-unsur ibadah yang penting. Apabila seseorang mengabaikan hak-hak dan kewajiban duniawi, dan tidak memenuhi tanggung jawabnya kepada istri dan anak-anaknya, tidak berusaha untuk memperoleh rezeki, melainkan sepanjang waktu tinggal dalam meditasi, ia menghancurkan kehidupannya dan tidak memenuhi tujuan hidup. Apabila ini tujuannya, apakah perlunya la menciptakan dan mengisi dunia dengan manusia padahal telah ada suatu golongan makhluk, seperti malaikat, yang sepanjang waktu terikat dalam perIbadahan dan pemujaan.

Alam telah membuat manusia berdiri di simpang jalan di mana jalan tengah meiupakan pusat bimbingan. Apabila ia menyimpang dari titik moderasi ini walau sedikit, yang ada di hadapannya ialah kesesatan. Menempufa jalan tengah itu tidak boleh membungkuk kepada dunia ini sampai mengabaikan kehidupan akhirat, dan tak boleh pula ia berpantang dari dunia ini sehingga tidak berhubungan dengan segala yang ada di dalamnya, mengurung diri di suatu sudut dan meninggalkan segala sesuatu lainnya. Karena Allah menciptakan manusia di dunia maka manusia harus mengikuti tata kehidupan di dunia ini, dan ikut mengambil bagian dalam kesenangan yang dianugerahkan Allah dalam batas-batas moderat. Makan minum dan penggunaan hal-hal yang dihalalkan Allah tidak bertentangan dengan ibadah kepada Allah; Allah menciptakan semua itu justru supaya manusia memanfaatkannya. Itulah sebabnya maka orang-orang pilihan Allah hidup di dunia ini bersama orang lain dan makan dan minum seperti orang lain. Mereka tidak merasa perlu untuk memalingkan wajah dari manusia dunia, dan tidak lari ke hutan atau gua di gunung sebagai tempat tinggalnya, atau hidup di tempat-tempat terpencil. Mereka mengingat Allah, tidak terjerat pada urusan duniawi, dan tidak melupakan kematian walaupun ada kesenangan hidup.

Kehidupan pertapa kadang-kadang menimbulkan keburukan yang meruntuhkan kehidupan akhirat maupun dunia ini, dan orang yang hidup semacam itu merupakan gambaran yang sesungguhnya tentang "orang yang merugi di dunia maupun akhirat". Bilamana dorongan alami tidak dipenuhi secara halal dan sah, pikiran berpaling kepada pusat gagasan buruk dan tak berdaya melaksanakan ibadah dengan damai dan konsentrasi. Dan kadang-kadang hawa nafsu begitu mengatasi si pertapa, mematahkan semua ikatan moralnya sampai ia mengabdikan diri untuk memenuhinya, dan sebagai akibatnya ia jatuh ke jurang kehancuran yang tak memungkinkannya melepaskan diri. Itulah sebabnya maka hukum agama memberikan kedudukan yang lebih besar pada Ibadah yang dilakukan oleh orang yang berkeluarga, karena ia lebih dapat melaksanakan kedamaian mental dan konsentrasi dalam amal Ibadah.

Orang-orang yang memakai jubah sufi dan menggembar-gemborkan kebesaran rohaninya, terputus dari jalan Islam dan tak mengetahui ajarannya yang luas. Mereka disesatkan oleh iblis, dan dengan bersandar pada konsepsi-konsepsi mereka sendiri, mereka melangkah di jalan batil. Pada akhirnya kesesatannya menjadi demikian parah sampai mereka memandang para pemimpinnya sebagai orang yang telah mencapai tingkat yang demikian tinggi sehingga kata-kata mereka adalah kata Allah dan tindakan mereka tindakan Allah. Kadang-kadang mereka memandang dirinya di luar segala batas hukum agama dan memandang segala perbuatan mungkar sebagai halal bagi mereka. Prinsip-prinsipnya disebut ath-Tharîqah (jalan untuk mencapai persatuan dengan Allah) dan pengikut kultus ini dikenal sebagai para sufi. Pertama-tama Abû Hâsyim al-Kûfî dan asy-Syâmî mengambil julukan itu. la keturunan Bani Umayyah dan fatalis (yang percaya bahwa manusia terpaksa berbuat sebagaimana telah ditakdirkan Allah). Alasan pemberian nama ini kepadanya adalah.karena ia memakai jubah dari wol kasar untuk berbuat pamer tentang kepertapaannya dan takwanya kepada Allah. Kemudian julukan itu menjadi umum, dan berbagai alasan diajukan sebagai basis nama itu. Misalnya, salah satu dasarnya ialah bahwa Sufi mengandung tiga huruf, Shâd, Wau dan Fâ. Shâd berarti shabr (sabar), shidq (benar), shafâ (suci hati); Wau berarti wudd (cinta), wird (wirid, pengulangan asma Allah), dan wafd (ke-setiaan kepada Allah); dan Fâberarti fard(keesaan), faqr (kemiskinan) dan fanâ' (keterserapan ke dalam Diri Allah). Pandangan yang kedua ialah bahwa kata itu berasal dari ash-Shuffah yang merupakan emperan di sisi Mesjid Nabi yang beratap daun kurma. Orang-orang yang tinggal di sana disebut ashhâbush-shuffah (penghuni emperan). Pendapat ketiga, istilah itu berasal dari nama leluhur dari suatu suku Arab, Shflfah, yang melaksanakan kewajiban untuk melayani para jamaah dan Ka'bah, dan dengan rujukan kepada hubungannya dengan suku ini, maka kaum ini disebut Shûfî. Kelompok ini terbagi dalam berbagai sekte. Tetapi sekte utamanya hanya tujuh:

1) Al-Wahdatiyyah: Sekte ini mempercayai keesaan segala eksistensi. Menurut kepercayaannya, segala sesuatu dari dunia ini adalah Tuhan (Allah) sehingga mereka memberikan kedudukan seperti Tuhan pada segala sesuatu,
termasuk kotoran. Mereka menyerupakan Allah dengan sungai dan ombak yang datang darinya, dan berhujah bahwa ombak yang kadang timbul dan kadang turun tidak mempunyai eksistensi sendiri terlepas dari sungai itu;
eksistensi ombak-ombak itu adalah eksistensi sungai itu. Oleh karena itu, tak ada yang dapat dipisahkan dari eksistensinya sendiri.

2) Al-Ittihâdiyyah: Penganutnya percaya bahwa mereka telah bersatu dengan Allah, dan Allah telah bersatu dengan mereka. Mereka menyerupakan Allah dengan api dan mereka sendiri adalah besi yang berada di api dan mendapatkan bentuk dan sifatnya.

3) Al-Hulûliyyah: Mereka percaya bahwa Allah mengambil bentuk dari orang-orang yang mengaku mengetahui-Nya dan orang-orang yang sempurna, dan tubuh mereka adalah tempat tinggalnya. Secara ini mereka nampak pada lahirnya sebagai manusia tetapi sebenarnya mereka adalah Allah.

4) Al-Wâshiliyyah: Para penganut sekte ini memandang dirinya telah berpadu dengan Allah. Menurut kepercayaan mereka hukum syariat merupakan sarana bagi perkembangan kepribadian dan karakter manusia, dan apabila diri manusia telah berpadu dengan Allah maka tak diperlukan lagi penyempurnaan atau perkembangan. Akibatnya, bagi para "wâshliyyîn", ibadah adalah perbuatan sia-sia, karena mereka berpendapat bahwa apabila kebenaran dan realitas telah tercapai maka syariat tidak ada perlunya lagi. Karena itu mereka boleh berbuat apa saja dan tak dapat diganggu gugat.

5) Al-Zarrâqiyyah: Sekte ini menganggap musik vokal dan instrumental sebagai ibadah, dan mendapatkan kegembiraan duniawi ini melalui pertunjukan kepertapaan sambil mengemis dari rumah ke rumah. Mereka selalu sibuk
meriwayatkan cerita yang dibuat-buat tentang perbuatan keramat dari para pemimpinnya untuk mempesona dan menakut-nakuti orang.

6) Al-'Usysyaqiyyah (pencinta): Sekte ini berteori bahwa yang lahiriah adalah sarana untuk mencapai realitas. Maksudnya, cinta duniawi adalah sarana untuk mencapai cinta Allah. Yakni, untuk mencapai tahap kekasih Allah maka
perlulah menaruh cinta pada suatu keindahan manusiawi.

Tetapi cinta yang mereka anggap cinta bagi Allah hanyalah hasil dari kelainan mental yang melaluinya si pencinta cenderung kepada seorang individu dengan seluruh perhatiannya dan tujuan akhirnya ialah beroleh akses kepada yang dicintai. Cinta ini dapat menjuruskan orang ke jalan kejahatan atau keburukan, tetapi tak ada hubungannya dengan cinta kepada Allah.

Seorang penyair Persia mengatakan: "Kebenaran fakta adalah bahwa cinta duniawi ibarat jin, dan jin tak dapat memberikan petunjuk kepada Anda."

7) Al-Talqîniyyah (tempat pertemuan): Menurut sekte ini, membaca buku-buku agama dan keilmuan sama sekali haram. Sebaliknya, kedudukan yang dicapai dengan sesaat usaha spiritual para Sufi tak dapat dicapai dengan membaca buku selama tujuh puluh tahun.

Menurut para ulama Syi'ah, semua sekte itu berada di jalan batil dan telah keluar dari Islam. Dalam hubungan ini, banyak ucapan para imam telah diriwayatkan. Dalam Khotbah di atas juga Amirul Mukminin memandang pemutusan 'Ashim ibn Ziyâd dari dunia ini sebagai kejahatan iblis, dan ia memperingatkannya dengan keras supaya tidak menempuh jalan itu. (Untuk kajian lebih lanjut, lihat Syarh Nahjul Balâghah oleh al-Hajj Habîbullah al-Khû`î, XIII, h. 132-471; XIV, h. 2-22.)