KHOTBAH 226- Tentang Seorang Sahabat yang Melewati Dunia ini Sebelum Terjadinya Kekacauan

Semoga Allah memberi ganjaran kepada si Anu[1] yang meluruskan yang bengkok, mengobati yang sakit, meninggalkan bencana dan menegakkan sunah. la pergi (dari dunia ini) dengan busana yang tak bernoda dan sedikit kekurangan. la mencapai kebaikan (dunia ini) dan tetap aman dari keburukannya. la memberikan ketaatan kepada Allah dan takwa kepada-Nya sebagaimana hak-Nya. la pergi dan meninggalkan manusia di jalan-jalan berpecah di mana yang tersesat tak dapat beroleh petunjuk dan yang tertuntun tak dapat beroleh kepastian. •

--------------------------------------------------------------------------------

[1] lbn Abil Hadid menulis dalam Syarh Nahjul Balâghah, XIV, h. 3-4 bahwa rujukan di sini adalah pada Khalifah 'Umar, dan bahwa kalimat-kalimat ini diucapkan dalam pujiannya sebagai ditunjukkan oleh kata "'Umar" yang ditulis di bawah kata "si Anu" dalam tulisan tangan Sayid Radhî sendiri dalam manuskrip Nahjul Balâghah yang ditulisnya. Ini pernyataan Ibn Abil Hadid, tetapi harus dilihat bahwa apabila Sayid Radhî telah menulis kata 'Umar sebagai penjelasan, mestinya kata itu harus ada, sebagaimana penjelasan-penjelasannya yang lain dalam versi-versi yang dikutip dari manuskripnya. Bahkan hingga kini di Universitas al-Mushil ('Iraq) ada naskah tertua Nahjul Balâghah yang ditulis oleh kaligrafis terkenal Yaqut al-Musta'shimi, tetapi tak seorang pun mendapatkan suatu kunci tentang penjelasan Sayid Radhî ini. Sekalipun pandangan Ibn Abil Hadid diterima, hal itu akan dianggap mewakili pandangan pribadi Sayid Radhî yang dapat menjadi argumen tambahan untuk mendukung argumen dasar, tetapi pandangan pribadi ini tak dapat dipandang sebagai hal penting.

Aneh bahwa dua setengah abad setelah Sayid Radhî, yakni di abad ketujuh Hijrah, Ibn Abil Hadid membuat pernyataan bahwa rujukan di sini ialah kepada Khalifah 'Umar dan bahwa Sayid Radhî sendiri menunjukkan demikian, yang sebagai akibatnya beberapa penulis syarah lainnya mengikuti garis yang sama, sedang orang yang sezaman dengan Sayid Radhî sendiri yang menulis tentang Nahjul Balâghah tidak memberikan indikasi itu dalam tulisan-tulisan mereka, padahal sebagai orang sezaman mestinya mereka mempunyai informasi yang lebih baik tentang tulisan Sayid Radhî. Maka, 'Allamah 'Ali ibn Nashir yang sezaman dengan Sayid Radhî dan menulis syarah tentang Nahjul Balâghah dengan judul A'lam Nahjul Balâghah menulis sehubungan dengan Khotbah ini,

"Amirul Mukminin memuji salah seorang dari sahabatnya sendiri atas perilakunya yang baik. la telah meninggal sebelum kekacauan yang timbul setelah wafatnya Nabi."

Ini didukung oleh syarah-syarah tentang Nahjul Balâghah yang ditulis oleh 'Allamah Quthbuddîn ar-Rawandî (m. 573 H.), Ibn Abil Hadid (jilid XIV, h. 4) dan Ibn Maitsam al-Bahram (dalam Syarh Nahjul Balâghah, jilid IV, h. 97) telah mengutip pandangan berikut,

"Dengan ini Amirul Mukminin merujuk salah seorang sahabatnya sendiri yang meninggal sebelum terjadinya bencana perpecahan menyusul wafatnya Nabi Allah."

'Allamah al-Hajj al-Mirzâ Habibullih al-Khû'î berpendapat bahwa orang itu ialah Malik ibn Harits al-Asytar, atas dasar bahwa setelah terbunuhnya Malik situasi kaum Muslim demikian rupa sebagaimana diterangkan Amirul Mukminin dalam Khotbah itu. Al-Khû'î menambahkan,

"Amirul Mukminin telah berulang kali memuji Malik, seperti dalam suratnya kepada orang Mesir yang dikirimkan melalui Malik ketika ia diangkat menjadi gubernur negeri itu, dan seperti ucapan-ucapannya ketika kabar tentang terbunuhnya Malik sampai kepadanya, di mana ia berkata, "Malik! siapakah Malik? Apabila Malik itu batu, ia keras dan padat; apabila ia karang, ia karang besar yang tak ada taranya. Wanita telah mandul untuk melahirkan orang seperti Malik." Amirul Mukminin bahkan telah mengungkapkan dalam salah satu ucapannya bahwa, 'Malik bagi saya adalah seperti saya bagi Nabi'. Karena itu, orang yang memiliki kedudukan semacam itu tentulah patut menerima atribut-atribut itu dan bahkan lebih dari itu." (Syarh Nahjul Balâghah, XIV, h. 374-375)

Apabila kata-kata ini mengenai Khalifah 'Umar dan ada suatu keterpercayaan tentang itu maka Ibn Hadid akan sudah mencatat otoritas atau hadis dan hal itu mestinya sudah ada dalam sejarah dan diketahui di kalangan manusia. Tetapi di sihi tak terdapat sesuatu untuk membuktikan pernyataan itu, kecuali beberapa kejadian yang diada-adakan sendiri. Maka, tentang kata ganti dalam kata-kata khairaha dan syarraha ia menganggapnya (kata ganti ha) merujuk kekhalifahan dan menulis bahwa kata-kata ini hanya dapat diterapkan pada yang mempunyai kekuasaan dan wewenang, karena tanpa wewenang mustahil menegakkan sunah atau mencegah bidah. Ini inti argumen yang diajukannya dalam kesempatan itu, walaupun tak ada bukti untuk memapankan bahwa kata yang digantikan oleh kata ganti itu adalah kekhalifahan. Kata ganti "ha" (nya, dia femina) itu malah lebih cocok merujuk dunia—ketika Amirul Mukminin mengatakan, "la mencapai kebaikan-nya (dunia ini) dan tetap aman dari kejahatan-nya."—dan itu akan sesuai dengan konteks. Lagi, memandang wewenang sebagai syarat untuk menyelamatkan kepentingan rakyat dan tnendakwahkan sunah, berarti menutup pintu bagi orang lain untuk menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, padahal Allah telah menugaskan kewajiban itu kepada sekelompok manusia tanpa persyaratan wewenang:

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. 3:104)

Demikian pula, Nabi bersabda,

"Selama manusia menyeru kepada kebajikan dan menyuruh kepada yang makruf, dan saling membantu dalam kebajikan dan takwa, mereka akan tetap dalam kesalehan."

Lagi, Amirul Mukminin sendiri dalam sebuah wasiatnya rnengatakan secara umum,

"Tegakkan tiang-tiang Keesaan Allah dan sunah, dan nyalakan terus kedua lampu itu."

Dalam pernyataan-pernyataan itu tak ada singgungan bahwa kewajiban itu tak dapat dilaksanakan tanpa wewenang. Kenyataan juga mengatakan kepada kita bahwa walaupun ada tentara dan pasukan serta kekuasaan dan wewenang, para penguasa dan raja-raja tak dapat mencegah kemungkaran atau menyiarkan kebajikan sejauh yang dihasilkan orang-orang suci yang tak dikenal dalam menanamkan nilai-nilai moral dengan menempa akhlak di hati dan pikiran mereka, walaupun para wali itu tidak didukung oleh tentara atau kekuasaan dan tidak mempunyai perlengkapan selain kemiskinan. Tak diragukan bahwa wewenang dan kekuasaan dapat menundukkan kepala orang di hadapannya, tetapi tak mesti bahwa hal itu juga membuka jalan bagi kebajikan hati. Sejarah menunjukkan bahwa kebanyakan penguasa menghancurkan wajah Islam. Keberadaan dan kemajuan Islam dimungkinkan oleh orang-orang yang tak berdaya yang tidak memiliki apa-apa.

Apabila didesakkan bahwa rujukan di sini hanya kepada seorang penguasa, mengapa tidak diartikan sebagai berarti seorang sahabat Amirul Mukminin yang menjadi kepala sebuah propinsi, seperti Salman al-Farisi yang untuk penguburannya Amirul Mukminin pergi ke Mada'in. Dan bukan mustahil bahwa Amirul Mukminin telah mengucapkan kata-kata itu setelah penguburannya dalam memberikan komentar tentang kehidupan dan jalan pemerintahannya. Bagaimanapun, mempercayai bahwa kata-kata itu untuk Khalifah 'Umar adalah sama sekali tanpa bukti. Pada akhirnya Ibn Abil Hadid mengutip pernyataan sejarawan Thabarî untuk membuktikan hipotesanya, sebagai berikut:

"Diriwayatkan dari al-Mughirah ibn Syu'bah bahwa ketika Khalifah 'Umar meninggal, Ibnah Abi Hatsmah berkata sambil menangis, 'Wahai 'Umar, Anda adalah orang yang meluruskan yang bengkok, menyingkirkan keburukan, menghancurkan kejahatan, menghidupkan sunah, tetap suci, dan berpisah tanpa keterlibatan dalam kemungkaran.' (Menurut Thabari, al-Mughirah meriwayatkan bahwa 'Ketika 'Umar dikuburkan, saya datang kepada 'Ali dan mendengar sesuatu dari dia tentang 'Umar. Maka, ketika saya tiba, Amirul Mukminin keluar dalam keadaan berselubung kain setelah mandi dan menyentak-nyentakkan rambut di kepala dan janggutnya, dan ia tak ragu bahwa jabatan khalifah itu akan datang kepadanya. Pada kesempataan itu ia berkata, 'Semoga Allah menaruh rahmat atas 'Umar.' Ibnah Abi Hatsmah telah mengatakan dengan benar bahwa ia menikmati kebaikan dari kekhalifahan itu dan tetap aman dari kejahatan. Demi Allah, ia (perempuan itu, Ibnah) tidak mengatakannya sendiri tetapi ia dibuat berkata begitu.'" (ath-Thabari, I, h. 2763; Ibn Abil Hadid, XII, h. 5; Ibn Katsir, VII, h. 140)

Perawi peristiwa itu ialah Mughirah ibn Syu'bah. Dalam kasus penzinaannya dengan Umm Jamil, Khalifah 'Umar menyelamatkannya dari hukuman walaupun ada bukti. Dia juga secara terbuka mencerca Amirul Mukminin 'Ali di Kufah, atas permintaan Mu'awiah. Ini merupakan fakta sejarah. Atas dasar ini bobot pernyataannya sangat jelas. Dari sisi pandang faktual pun riwayat ini tak dapat diterima. Pernyataan Mughirah bahwa Amirul Mukminin tak meragukan tentang akan diangkatnya dia sebagai khalifah adalah bertentangan dengan fakta. Atas dasar apakah ia membuat terkaannya padahal fakta-fakta aktual adalah sebaliknya. Apabila ada seseorang yang pasti akan menjadi khalifah, orang itu adalah 'Utsman. Maka dalam Syura (Badan Musyawarah) 'Abdur-Rahman ibn 'Auf berkata kepada Amirul Mukminin, "Ya 'Ali! janganlah menciptakan situasi melawan diri Anda sendiri karena saya telah melihat dan meminta pendapat rakyat dan mereka semua menghendaki 'Utsman." (Thabari, I, h. 2786; Ibn Atsir, III, h. 71; Abul Fida', I, h. 166)

Akibatnya, Amirul Mukminin yakin ia tidak akan mendapatkan jabatan khalifah sebagaimana telah dinyatakan berdasarkan Tarikh Thabari, di bawah Khotbah asy-Syiqsyiqiyyah, yakni bahwa ketika melihat nama-nama para anggota Syura itu, Amirul Mukminin mengatakan kepada 'Abbas ibn 'Abdul Muththalib bahwa kekhalifahan itu tak mungkin diberikan kepada siapa pun selain 'Utsman karena semua kekuasaan telah diberikan kepada 'Abdur-Rahman ibn 'Auf, dan dia adalah ipar 'Utsman (istrinya adalah saudara 'Utsman), dan Sa'd ibn Abi Waqqash adalah kerabat dan orang sesuku dengan 'Abdur-Rahman. Kedua orang ini akan bergabung dalam memberikan kekhalifahan kepadanya.

Pada tahap ini timbul masalah tentang apakah alasannya yang menggerakkan Mughirah untuk mendorong Amirul Mukminin mengatakan sesuatu tentang 'Umar? Apabila ia tahu bahwa Amirul Mukminin mempunyai gagasan baik tentang 'Umar maka tentulah ia juga mengetahui kesannya; tetapi apabila ia tahu bahwa Amirul Mukminin tidak mempunyai gagasan baik tentang dia maka maksudnya bertanya pada Amirul Mukminin tak akan lain, bahwa apa saja yang mungkin dikatakannya, bila dibeberkan kelak, dapat menciptakan suasana yang menentangnya dan membuat para anggota Syura curiga kepadanya. Pandangan para anggota Syura dapat dipahami dengan jelas dari kenyataan bahwa dengan menaruh persyaratan untuk mengikuti perilaku kedua khalifah sebelumnya dalam pemilihan khalifah itu mereka telah menunjukkan keterpautan mereka kepada kedua khalifah itu. Dalam keadaan ini, ketika Mughirah mencoba memainkan triknya, Amirul Mukminin mengatakan hanya secara meriwayatkan fakta bahwa 'Umar mencapai kebaikan (dari dunia ini) dan tetap aman dari kejahatannya. Kalimat ini tidak ada hubung-annya dengan pujian atau eulogy. Di masanya memang 'Umar menikmati segala tnacam keuntungan sedang masanya terbebas dari bencana yang muncul kemudian. Setelah mencatat pernyataan ini, Ibn Abil Hadid menulis,

"Dari peristiwa ini, kepercayaan itu beroleh kekuatan bahwa dalam ucapan ini singgungannya adalah kepada 'Umar."

Apabila ucapan itu berarti kata-kata yang diucapkan oleh Ibnah Abi Hatsmah tentang itu, Amirul Mukminin telah mengatakan bahwa kata-kata itu bukan kata-kata wanita itu melainkan ia dibuat mengucapkannya oleh Amirul Mukminin dalam memuji 'Umar, sama sekali tidak mapan. Malah, dari riwayat itu telah diperlihatkan dengan jelas bahwa kata-kata yang diucapkan oleh Ibnah Abi Hatsmah itu telah dikutip dan kemudian diargumentasikan secara sembrono bahwa kata-kata itu diucapkan oleh Amirul Mukminin tentang 'Umar. Nampaknya Amirul Mukminin telah mengucapkan kata-kata ini tentang seseorang pada suatu kesempatan, kemudian Ibnah Abi Hatsmah menggunakan kata-kata itu pada saat kematian 'Umar. Bila tidak demikian maka hanya pikiran orang gila yang dapat menghujahkan bahwa kata-kata Ibnah Abi Hatsmah itu harus dipandang sebagai dasar untuk pegangan bahwa Amirul Mukminin mengatakan kata-kata itu dalam memuji 'Umar. Dapatkah diharapkan, setelah melihat sekilas Khotbah asy-Syiqsyiqiyyah (Khotbah No. 3) bahwa Amirul Mukminin mungkin mengucapkan kata-kata itu? Lagi pula, patut dipertimbangkan, apabila Amirul Mukminin telah mengucapkan kata-kata itu pada saat kematian 'Umar, kemudian pada Syura ia menolak untuk mengikuti perilaku kedua khalifah yang pertama, akan dikatakan kepadanya bahwa baru kemarin ia mengatakan bahwa 'Umar telah menegakkan sunah dan menyingkirkan bidah; bilamana perilakunya sesuai dengan sunah maka apa artinya menerima sunah tetapi menolak perilakunya.