KHOTBAH 234- Dalam khotbah ini Amirul Mukminin meriwayatkan keadaannya sendiri setelah Hijrahnya Nabi sampai bertemu dengan beliau

Dalam khotbah ini Amirul Mukminin meriwayatkan keadaannya sendiri setelah Hijrahnya Nabi sampai bertemu dengan beliau [1]


Saya mulai mengikuti jalan yang ditempuh Nabi dan melangkah pada garis-garis ingatan kepada beliau hingga saya sampai ke al-'Arj.

Sayid Radhî mencatat: Kata-kata Amirul Mukminin, “fa'atha'u dzikrahu" (maka saya melangkah pada garis-garis ingatan kepadannya) merupakan bentuk singkatan dan kefasihan yang tertinggi. la bermaksud mengatakan bahwa ia telah diberi kabar tentang Nabi dari awal keberangkatan beliau sampai beliau mencapai tempat itu, dan ia telah mengungkapkan pengertian ini dalam ungkapan yang mengagumkan ini. •

--------------------------------------------------------------------------------

[1]Sejak permulaan kenabian, Nabi tetap di Makkah selama tiga belas tahun. Bagi beliau saat itu adalah masa penindasan dan kesukaran yang paling keras. Kaum kafir Quraisy telah menutup semua pintu rezeki terhadap beliau, dan tidak meninggalkan usaha apa pun untuk menimpakan kesulitan kepada beliau, bahkan mereka berupaya untuk merenggut nyawanya. Empat puluh orang tokohnya mengadakan permusyawaratan di Darun-Nadwah dan memutuskan bahwa satu orang harus diambil dari setiap suku dan mereka harus bersama-sama menyerangnya. Secara ini Bani Hasyim tak akan berani menuntut balas dan menghadapi seluruh suku itu, dan hal itu akan membebaskan mereka dari pembayaran uang darah. Untuk melaksanakan gagasan itu, orang-orang itu dengan sembunyi-sembunyi mengepung rumah Nabi pada malam 1 Rabi’ul Awal, agar bilamana Nabi telah tidur di tempat tidurnya mereka akan menyerangnya. Di satu sisi persiapan yang dilakukan untuk membunuh beliau telah sempurna, di sisi lain Allah telah memberitahukan kepada beliau tentang semua intrik kaum kafir Quraisy dan memerintahkan beliau untuk menyuruh 'Ali as tidur di tempat tidur beliau sementara beliau sendiri hijrah ke Madinah. Nabi memanggil 'Ali as dan menyampaikan rencana beliau kepadanya, seraya mengatakan, "Hai 'Ali, Anda tidurlah di tempat tidur saya." Amirul Mukminin menanyakan, "Ya Rasulullah, apakah nyawa Anda akan selamat dengan tidurnya saya di sini?" Nabi berkata, "Ya." Mendengar hal itu Amirul Mukminin sujud syukur dan dengan membukakan dirinya sepenuhnya pada bahaya itu, tidur di tempat tidur Nabi sementara Nabi pergi melalui pintu belakang. Kaum kafir Quraisy mengintip dan siap untuk menyerang tetapi Abu Lahab mengatakan, "Tak pantas menyerang di malam hari karena ada pula perempuan dan anak-anak dalam rumah itu. Ketika tiba waktu pagi, Anda seranglah dia; tetapi teruslah berjaga selama waktu malam agar ia tidak ke mana-mana." Sesuai dengan itu, mereka terus memperhatikan tempat tidur Nabi sepanjang malam, dan segera setelah munculnya fajar, mereka maju secara sembunyi-sembunyi. Mendengar bunyi langkah kaki mereka, Amirul Mukminin membuka selimut dari wajahnya lalu berdiri. Orang-orang Quraisy menatapnya dengan mata terbelalak dan keheranan apakah itu hanya khayalan atau kenyataan. Setelah yakin bahwa itu 'Ali, mereka bertanya, "Di mana Muhammad?" dan 'Ali menjawab, "Apakah Anda menitipkannya kepada saya, sehingga sekarang Anda menanyakannya kepada saya?" Mereka tidak menjawabnya. Orang-orang berlarian hendak memburu beliau tetapi hanya mendapatkan jejak sampai ke gua Tsaur. Setelah itu tak ada jejak atau tanda bersembunyi di gua. Mereka kembali dengan bingung sementara Nabi, setelah tinggal di gua itu selama tiga hari, berangkat ke Madinah. Amirul Mukminin melewati tiga hari itu di Makkah, mengembalikan kepada orang-orang harta titipan mereka kepada Nabi, kemudian berangkat ke Madinah untuk ber-gabung dengan beliau. Sampai di al-'Arj yang merupakan tempat di antara Makkah dan Madinah, ia terus mendapatkan kabar tentang Nabi dan ia melanjutkan perjalanannya yang penuh gairah untuk mencari Nabi sampai ia menemui beliau di Quba pada 12 Rabi’ul Awal dan masuk ke Madinah bersama beliau. (ath-Thabari, Tafsir, IX, h. 148-151; Tarikh, I, h. 1232-1234; Ibn Sa'd, ath-Thabaqât, I, bagian i, h. 153-154; Ibn Hisyam, as-Sîrah, II, h. 124-128; Ibn Atsir, Usd al-Ghâbah, IV, h. 25; al-Kâmil, II, h. 101-104; Ibn Katsir, Tafsir, II, h. 302-303; Tarikh, III, h. 180-181; Ibn Abil Hadid, Syarh, XIII, h. 303-306; as-Suyuthi, ad-Dur al-Mantsûr, ffl, h. 179-180; al-'Allamah al-Majlisi, Bihâr al-Anwâr, XIX, h. 28-113.)