BAGIAN PERTAMA

PRA SYAHADAH


Imam Husein a.s. lahir pada tanggal 5 Sya'ban tahun keempat Hijrah. Menurut riwayat lain, beliau lahir pada tanggal 3 Sya'ban. Riwayat ketiga mengatakan bahwa tanggal kelahiran beliau adalah akhir bulan Rabiul Awal tahun ketiga Hijrah. Ada juga riwayat-riwayat yang lain.
Ummul Fadhl[1] istri Abbas bin Abdul Mutthalib[2] ra. berkata,[3] "Sebelum kelahiran Al-Husain, saya bermimpi melihat sepenggal daging Rasulullah saw. terpotong dan diletakkan[4] di pangkuanku. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang ta'bir mimpiku itu. Beliau saw. bersabda, "Mimpimu itu bagus. Jika mimpimu itu menjadi kenyataan, berarti Fatimah akan segera melahirkan seorang anak yang akan kuberikan kepadamu untuk engkau susui".
Ummul Fadhl meneruskan, "Apa yang dikatakan beliau menjadi kenyataan. Suatu hari aku mendatangi Rasulullah saw. dengan membawa bayi tersebut dan meletakkannya di pangkuan beliau. Tiba-tiba dia kencing, sehingga baju beliau saw. basah oleh air kencingnya. Akupun mencubitnya hingga menangis. Lalu Nabi saw. bersabda, "Wahai Ummul Fadhl, jangan kau lakukan itu, karena bajuku ini bisa dicuci tapi dengan cubitanmu itu, berarti engkau telah menyakitinya".
Aku lalu pergi meninggalkannya dipangkuan beliau, untuk mengambil air.
Ketika kembali, aku melihat Rasulullah saw. menangis. Akupun bertanya, "Gerangan apa yang menjadikan anda menangis, ya Rasulullah?" 
Beliau menjawab, "Jibril baru saja datang dan memberitahuku bahwa umatku akan membunuh anakku ini. Mereka tidak akan mendapatkan syafaatku di hari kiamat kelak[5]".
Para perawi mengatakan, "Ketika umur Al-Husain genap satu tahun, dua belas malaikat datang kepada Nabi saw. Salah satu dari mereka dalam bentuk singa. Kedua dalam bentuk banteng, ketiga ular besar, keempat sebagai manusia biasa, dan delapan malaikat lainnya dalam bentuk yang bermacam-macam. Wajah mereka memerah dengan air mata yang luruh,[6] sembari membentangkan sayap, mereka berkata, 
"Wahai Muhammad, putramu Al-Husain anak Fatimah akan mengalami apa yang dialami oleh Habil dari tangan Qabil. Dia akan memdapatkan pahala Habil sedangkan para pembantainya akan memikul dosa seperti dosa Qabil." 
Tak ada satu malaikatpun di langit kecuali turun dan mendatangi Nabi, untuk mengucapkan salam kepada beliau dan menghiburnya atas musibah yang kelak akan menimpa Al-Husain a.s., seraya memberitahukan kepada beliau pahala yang akan didapatnya dan memperlihatkan kepada beliau tanah tempat dia dibantai. Nabi saw. bersabda, 
"Ya Allah, hinakanlah orang yang telah menghinakannya. Bunuhlah mereka yang membunuhnya dan jangan Engkau kabulkan apa yang mereka inginkan."
Ketika Al-Husain a.s. berumur dua tahun, Nabi saw. pergi ke luar kota untuk suatu urusan. Pada waktu beliau sampai di suatu tempat, tiba-tiba beliau memerintahkan untuk segera pulang dengan air mata membasahi pipi beliau yang suci. Seseorang bertanya akan apa yang terjadi pada diri beliau. 
Beliau menjawab, " Jibril baru saja datang kepadaku dan memberitahuku akan sebuah daerah di tepi sungai Furat yang dikenal dengan nama Karbala.[7] Di sanalah kelak putraku Al-Husain anak Fatimah akan dibantai." 
Merekapun bertanya lebih lanjut, "Ya Rasulullah, siapakah gerangan si celaka yang akan membunuhnya itu"? 
Beliau menjawab, "Seorang yang bernama Yazid. Seakan-akan aku kini tengah menyaksikan tempat pembantaian dan kuburannya." Beliaupun pulang dari perjalanan ini dalam keadaan sedih. 
Sesampainya di Madinah, beliau naik ke atas mimbar dan berpidato dengan menuntun kedua cucu beliau. Sambil meletakkan tangan kanan di kepala Al-Hasan dan tangan kiri di kepala Al-Husain, beliau bersabda, 
"Ya Allah, Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu. Kedua anak ini adalah keluargaku yang suci, sebaik-baik keturunanku dan pusaka yang kutinggalkan untuk umatku. Tapi Jibril datang kepadaku dan mengatakan bahwa anakku ini akan dibantai dan dihinakan. Ya Allah, berkatilah darahnya dan jadikanlah ia penghulu para syuhada. Ya Allah, laknatlah orang yang membunuh dan menghinakannya."
Masjid Nabawi gaduh oleh suara tangis dan jeritan histeris kaum muslimin. Saat itulah Nabi saw. bersabda, "Apakah kalian hanya akan menangis dan tidak menolongnya ?"
Rasulullah saw. pulang ke rumahnya dengan muka pucat dan wajah yang memerah.
Pada kesempatan lainnya beliau berpidato sambil mencucurkan air mata. Beliau bersabda, "Wahai kaum muslimin sekalian, aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka, Kitabullah dan ithrahku, keluargaku. Keduanya tidak akan saling berpisah sampai bersama-sama menemuiku kelak di telaga surga. Ingatlah bahwa aku selalu menunggu mereka berdua. Aku tidak pernah mengharapkan sesuatu dari kalian kecuali apa yang Allah perintahkan kepada kalian untuk selalu mencintai keluargaku. Hati-hatilah! Jangan sampai kalian menemuiku di telaga surga nanti dalam keadaan membenci keluargaku, menzalimi atau bahkan membunuh mereka! 
Ingatlah bahwa kelak di hari kiamat akan ada tiga bendera umatku yang dihadapkan kepadaku. Bendera pertama berwarna hitam pekat yang membuat para malaikat murka. Ketika sampai dihadapanku, aku bertanya, "Siapakah kalian?"
Saat itu mereka lupa padaku dan menjawab, "Kami adalah orang-orang Arab yang mengesakan Tuhan." 
Kepada mereka kukatakan, "Aku adalah Ahmad, nabi bangsa Arab dan Ajam."
"Kalau begitu kami adalah sekelompok dari umatmu, wahai Ahmad," kata mereka selanjutnya
Aku bertanya lagi,"Apa yang kalian perbuat terhadap keluargaku, ithrahku dan kitab suci Tuhanku, sepeninggalku?"
Merekapun menjawab, "Kitabullah telah kami campakkan dan keluargamu telah kami usahakan untuk melenyapkan mereka dari muka bumi."
Mendengar itu aku segera memalingkan muka dari mereka. Mereka lalu pergi dalam keadaan kehausan yang mencekik leher dan wajah yang hitam lebam.
Bendera kedua yang berwarna lebih hitam dari yang pertama datang. Kepada mereka aku bertanya, "Apa yang kalian perbuat terhadap dua pusaka peninggalanku baik besar maupun yang kecil, kitabullah dan keluargaku ?" 
Mereka menjawab, "Kami telah menentang pusakamu yang besar. Adapun pusakamu yang kecil, mereka telah kami hinakan dan kami bantai."
Segera kuhardik mereka,"Enyahlah kalian dari hadapanku !" Mereka pergi meninggalkanku padahal rasa dahaga sangat mencekik leher mereka dan wajah mereka menjadi berwarna hitam pekat.
Kemudian bendera ketiga datang dengan memancarkan cahaya. Kepada mereka aku bertanya, "Siapakah gerangan kalian?" Mereka menjawab, "Kami adalah pengikut agama tauhid dan orang-orang yang bertaqwa. Kami adalah umat Muhammad saw. Kami pengikut kebenaran di akhir zaman. Kami telah mengemban amanat Kitabullah. Segala apa yang dinyatakan halal olehnya kami halalkan dan yang diharamkannya kami haramkan. Kamipun mencintai keturunan Nabi Muhammad saw. Kami menolong dan membantu mereka dalam semua hal, seperti yang kami lakukan untuk diri kami sendiri dan kami perangi orang-orang yang memusuhi mereka."
Akupun berkata kepada mereka,"Bergembiralah kalian! Aku Muhammad, nabi kalian. Di dunia kalian benar-benar telah melakukan apa yang kalian katakan tadi." 
Selanjutnya aku mempersilahkan mereka untuk meminum air telaga itu, hingga mereka pergi dalam keadaan kenyang dan gembira. Lalu mereka masuk ke dalam surga dan kekal di dalamnya."
Dengan demikian, orang ramai membicarakan tragedi yang akan menimpa Al-Husain a.s., mengagungkan dan menantikan kedatangan hari itu. Ketika Muawiyah bin Abi Sufyan [8] meninggal dunia -pada bulan Rajab tahun 60 H-, Yazid bin Muawiyah [9] menulis surat kepada Walid bin Uthbah [10], 
gubernur Madinah[11] saat itu, dan memerintahkannya untuk mengambil baiat dari penduduk kota tersebut khususnya dari Al-Husain bin Ali a.s. dan berpesan, jika Al-Husain enggan untuk berbaiat, penggal kepalanya dan kirimkan padaku !"
Maka Walid memanggil Marwan bin Hakam[12] untuk meminta sarannya dalam masalah Al-Husain a.s. ini. Kepadanya Marwan berkata, "Dia tidak mungkin akan bersedia untuk berbaiat. Jika aku berada di posisi anda sekarang ini, pasti sudah kupenggal kepalanya." Walid yang kebingungan menghadapi masalah tersebut mengatakan, "Andai saja aku tidak terlibat masalah ini."
Lantas ia mengirimkan utusannya kepada Al-Husain a.s. dan meminta beliau untuk datang menghadapnya. Beliau datang dengan dikawal oleh tiga puluh orang jawara dari keluarga dan pengikutnya. Kepada beliau Walid menyampaikan berita kematian Muawiyah dan meminta beliau untuk berbaiat kepada Yazid. 
Dalam jawabannya beliau berkata, "Tuan gubernur, baiat tidak mungkin dilakukan secara diam-diam. Jika besok anda memanggil orang-orang untuk berbaiat, panggil juga aku."
Marwan dengan cepat menukas, "Wahai gubernur, jangan anda terima alasannya itu ! Bila ia keberatan untuk berbaiat penggal saja kepalanya !"
Mendengar itu Al-Husain a.s. naik pitam dan berkata, "Celaka engkau ! Kau perintahkan ia untuk memenggal kepalaku ? Demi Allah yang kau katakan itu hanyalah dusta, hai pengecut !" 
Lalu beliau berpaling kepada Walid dan berkata, "Wahai gubernur, kami adalah keluarga para nabi, pusat risalah Ilahi, dan tempat hilir mudiknya para malaikat. Dengan kami, Allah telah membuka agama-Nya dan dengan kami pula Dia akan menutupnya. Sedangkan Yazid, ia adalah seorang yang fasik, peminum arak dan penumpah darah orang-orang yang tidak bersalah. Dia melakukan maksiat.dengan terang-terangan. Demi Allah, ia sama sekali tidak layak untuk menduduki tempat itu. Orang sepertiku tidak mungkin akan membaiat orang seperti dia. Cobalah lihat, siapa di antara kita yang berhak memegang tampuk kepemimpinan dan menerima baiat." 
Setelah itu beliau a.s. pergi meninggalkan mereka. Marwan segera menegur Walid dan berkata,"Mengapa anda tidak menuruti saranku ?" 
Walid menjawab, "Celaka kau, hai Marwan! Kau ingin menjerumuskan aku untuk melakukan sesuatu yang akan menghancurkan agama dan duniaku sekaligus ? Demi Allah aku tidak sudi mendapatkan kekuasaan dunia seutuhnya dengan jalan membunuh Al-Husain. 
Demi Allah, tak ada orang yang menghadap Allah di hari kiamat kelak dengan tangan yang berlumuran darah Al-Husain, kecuali timbangan amalnya akan ringan. Allah tidak akan memandangnya dengan mata rahmat dan tidak akan membersihkannya dari dosa dan pasti ia akan mendapatkan azab yang pedih."
Keesokan harinya, Al-Husain a.s. keluar untuk mendengar berita yang tengah terjadi di Madinah. Tiba-tiba beliau berpapasan dengan Marwan yang menegurnya dan berkata,"Hai Abu Abdillah, turutilah saranku pasti anda akan selamat!" 
Al-Husain a.s. menjawab, "Coba katakan apa saranmu itu?"
"Saya sarankan kepada anda untuk berbaiat kepada Amirul MukmininYazid. Sebab hal itu adalah jalan terbaik untuk dunia dan akherat anda," jawabnya.
Mendengar itu, Imam Husain a.s. berkata, 
"Inna lillahi wa inna ilahi raji'un. Jika umat Islam harus dipimpin oleh orang seperti Yazid berarti Islam telah hancur. Aku pernah mendengar kakekku Rasulullah saw. bersabda,

الخلافة محرمة على آل أبي سفيان

"Khilafah adalah hal yang haram bagi keluarga Abu Sufyan."
Dialog yang terjadi antara Imam Husein a.s. dan Marwan ini cukup panjang dan berakhir dengan kepergian Marwan dengan rasa dongkol.[13]
Esok harinya Imam Husein a.s. bertolak menuju kota Mekah,[14] tepatnya pada tanggal 3 Sya'ban tahun 60 H. Beliau tinggal di sana selama kurang lebih empat bulan (Sya'ban, Ramazan, Syawal, dan Dzul Qai'dah).
Suatu hari Abdullah bin Abbas ra.[15] dan Abdullah bin Zubair[16] datang menemui beliau. Mereka berdua menyarankan agar beliau menetap di kota ini. Dalam jawabannya beliau mengatakan, "Rasulullah saw. telah memerintahkan padaku satu hal dan aku harus melaksanakannya."
Sekeluarnya dari tempat Al-Husain, Ibnu Abbas berteriak histeris, "Oh, Husein!"
Tak lama kemudian Abdullah bin Umar[17] datang menemui beliau dan menyarankan agar beliau berdamai saja dengan orang-orang sesat ini untuk menghindari pertumpahan darah. Imam Husein a.s. menjawab,"Wahai Abu Abdur Rahman, tahukah anda bahwa salah satu hal yang menyebabkan Allah murka adalah bahwa kepala Yahya bin Zakaria dipersembahkan kepada seorang sundal dari bani Israil ? Tahukah anda bahwa bani Israil dalam kurun waktu yang relatif singkat, antara terbitnya fajar dan tebitnya matahari telah membantai tujuh puluh orang nabi. Kemudian mereka duduk di pasar dan asyik melakukan aktivitas berdagang mereka, seakan-akan tidak ada kejadian apapun. Meskipun demikian Allah tidak langsung mengazab mereka. Akan tetapi Dia mengulur waktu mereka untuk selanjutnya mencabut mereka dengan kuat. Takutlah kepada Allah, wahai Abu Abdur Rahman, dan jangan sampai anda lalai untuk membela dan menolongku."
Ketika penduduk Kufah[18] mendengar berita bahwa Al-Husain a.s. telah sampai di kota Mekah dan beliau tidak bersedia untuk berbaiat kepada Yazid, mereka segera mengadakan rapat darurat di rumah Sulaiman din Shurad Al-Khuza'i[19]. Setelah mereka semua hadir, Sulaiman bin Shurad berdiri dan menyampaikan pidatonya. Di bagian akhir khotbahnya, ia berkata, 
"Wahai para pengikut Ahlul Bait ! kalian semua telah mendengar berita kematian Mu'awiyah yang telah menemui tuhannya untuk menerima balasan atas segala yang telah diperbuatnya di dunia. Sebelum mati,ia telah mengangkat anaknya,Yazid, untuk menggantikan kedudukannya. Sedangkan Al-Husain putra Ali a.s. menentang hal itu. Beliau pergi ke kota Mekah, menghindar dari kejaran pasukan keluarga Abu Sufyan. Kalian semua adalah pengikutnya dan sebelum ini kalian adalah pengikut ayahnya. Kini beliau membutuhkan pertolongan kalian. Jika kalian yakin akan setia untuk membela beliau dan berperang melawan musuh-musuh beliau, tulislah surat kepadanya. Tetapi jika kalian takut kalah, maka jangan sekali-kali kalian tipu dan dustai beliau."
Lantas mereka serentak menulis surat untuk Al-Husain a.s. sebagai berikut:
Bismillahir Rahmanir Rahim.
Kepada Pemimpin kami, Al-Husain bin Ali a.s. dari Sulaiman din Shurad Al-Khuza'i, Musayyib bin Najbah[20], 
Rufa'ah bin Syaddad[21] Habib bin Madhahir[22], Abdullah bin 
Wa'il[23], dan segenap pengikutnya yang beriman.
Salam sejahtera atas anda. Amma Ba'du.
Maha suci Allah yang telah membinasakan musuh anda dan musuh ayah anda, seorang yang congkak dan durjana, seorang yang zalim dan lalim yang telah merampas hak-hak umat ini, merampok harta benda mereka dan memerintah tanpa restu mereka. Dialah yang telah membantai orang-orang baik dan memelihara orang-orang jahat dari umat ini. Harta Allah dijadikannya sebagai barang yang diputarkan di antara mereka,orang-orang zalim. Semoga Allah melaknatnya seperti melaknat kaum Tsamud.
Selain itu, kami sampaikan kepada anda, bahwa kami tidak mempunyai pemimpin selain anda. Datanglah kemari! Semoga Allah SWT berkenan mengumpulkan kami bersama anda untuk memperjuangkan kebenaran. Sekarang ini Nu'man bin Basyir[24] ada di istana gubernur. Kami tidak akan sudi berkumpul dengannya dalam satu majlis atau salat bersama dalam satu jamaah. Kami juga tak mau keluar bersamanya untuk salat 'Ied. Bila berita keberangkatan anda kemari sampai kepada kami, akan kami keluarkan dia dari Kufah supaya dapat berkumpul dengan para tuannya di Syam[25]. Salam, rahmat dan berkat Allah atasmu, wahai putra Rasulullah dan atas ayahmu. Tiada daya dan upaya kecuali dari Allah yang Maha Agung."
Surat ini ditanda tangani oleh mereka yang hadir di majlis itu. Selang dua hari, mereka mengutus sekelompok orang dengan membawa sekitar seratus lima puluh pucuk surat. Surat-surat tersebut ada yang ditanda tangani oleh seorang saja, ada yang dua orang, tiga orang bahkan empat orang. Mereka semua meminta agar Al-Husain a.s. sudi untuk datang ke Kufah. Meskipun demikian, beliau tidak tergesa-gesa mengabulkan permintaan mereka tersebut.
Surat-surat penduduk Kufah terus mengalir. Disebutkan bahwa pada suatu hari sekitar enam ratus pucuk surat sekaligus sampai ke tangan Al-Husain a.s. Jumlah seluruh surat yang beliau terima dalam banyak kesempatan yang berbeda sekitar dua belas ribu pucuk surat.
Hani bin Hani Al-Sabi'i[26] dan Said bin Abdullah Al-Hanafi[27] datang menemui beliau dengan membawa surat terakhir dari penduduk Kufah yang berbunyi:
Bismillahir Rahmanir Rahim...

Kepada Al-Husain bin Ali Amiul Mukminin a.s. dari para pengikutnya dan pengikut ayahnya dulu, Amirul Mukminin. Amma Ba'du.
Masyrakat telah menantikan kedatangan anda. Bagi mereka tak ada lagi pilihan kecuali mengikutimu. Bergegaslah, wahai putra Rasulullah! Padang sudah menghijau. Buah sudah saatnya untuk dipetik. Rumputpun telah tumbuh subur. Dan pohon-pohon telah mengeluarkan daunnya. Bila anda bersedia, datanglah kepada kami. Karena kedatangan anda akan disambut lasykar besar yang siap bersamamu. Salam, rahmat dan barakat Allah atasmu dan atas ayahandamu.
Al-Husain berpaling kepada Hani bin Hani Al-Sabi'i dan Sa'id bin Abdullah Al-Hanafi dan bertanya, "Katakan padaku siapa saja yang menulis surat yang kalian bawa ini ?"
Mereka berdua menjawab, "Wahai putra Rasulullah, mereka adalah, Syabats bin Rab'i[28], Hajjar bin Abjur[29], Yazid bin Harits, Yazid bin Ruwaim[30], 'Urwah bin Qais[31] 'Amr bin Hajjaj[32] dan Muhammad bin 'Umair bin 'Atharid[33]."
Lalu Al-Husain as berdiri melaksanakan salat sunnah dua rakaat di antara Ka'bah dan Maqam Ibrahim seraya memohon petunjuk dari Allah SWT dalam masalah yang tengah beliau hadapi ini.
Kemudian beliau memanggil Muslim bin 'Aqil[34] dan memberitahunya akan masalah yang tengah terjadi. Beliau juga menulis jawaban atas surat-sarat yang mereka kirmkan lewat Muslim. Dalam surat tersebut beliau berjanji untuk datang kepada mereka dan mengatakan yang intinya sebagai berikut:
Aku kirimkan saudara sepupuku, Muslim bin Aqil, ke kota kalian. Dialah yang akan memberiku kabar tentang keadaan yang sebenarnya terjadi di kota kalian ini dan tekad bulat kalian.
Muslim berangkat menuju Kufah dengan membawa surat Al-Husain a.s. Setibanya di kota tersebut, beliau menunjukkan surat jawaban Al-Husain a.s. kepada penduduk kota Kufah. Setelah surat tersebut mereka baca, kegembiraan tampak di wajah mereka yang berseri-seri karena sang Imam yang mereka nanti-nantikan akan segera berada di tengah-tengah mereka. Mereka lalu menjamu Muslim di rumah Mukhtar bin Abi 'Ubaidah Al-Tsaqafi[35].Di rumah itulah para pengikut Ahlul Bait silih berganti menemui duta Al-Husain a.s., Muslim bin Aqil.
Di hadapan sekelompok orang dari penduduk Kufah, Muslim membacakan surat Al-Husain yang dibawanya diiringi dengan derai air mata kerinduan mereka. Delapan belas ribu orang spontan berbaiat kepadanya.
Menyaksikan hal itu, Abdullah bin Muslim Al-Bahili[36], 'Umarah bin Walid[37] dan Umar bin Sa'ad[38] buru-buru memberikan informasi kepada Yazid perihal Muslim bin 'Aqil. Mereka menyarankan kepadanya untuk segera mencari pengganti Nu'man bin Basyir sebagai gubernur Kufah, yang dinilai lemah.
Yazid mengirimkan suratnya ke Ubaidillah bin Ziyad[39] -yang saat itu menjabat sebagai gubernur Bashrah[40]-yang berisi pengangkatannya sebagai gubernur Kufah dan Bashrah sekaligus dan memberitahunya perihal Muslim bin Aqil dan tugas yang diembannya dari Al-Husain a.s. Tak lupa, Yazid menekankan untuk segera mencari Muslim dan membunuhnya. Ubaidillah bersiap-siap untuk segera bertolak ke Kufah.
Pada saat yang sama, Al-Husain a.s. telah mengirimkan suratnya kepada para pembesar kota Bashrah. Surat yang dibawa oleh bekas budak beliau yang dikenal dengan sebutan Abu Razin[41] ini, berisikan ajakan beliau kepada mereka untuk membela dan menaatinya.Di antara para pembesar itu, terdapat nama Yazid bin Mas'ud Al-Nuhsyali[42] dan Mundzir bin Jarud Al-'Abdi.[43] 
Dengan kedatangan duta Al-Husain a.s. ini, Yazid bin Mas'ud segera mengumpulkan kabilah bani Tamim, bani Handzalah dan bani Sa'ad[44]. Setelah mereka semua hadir, Yazid bin Mas'ud memulai pembicaraannya. Ia berkata, 
"Wahai kabilah bani Tamim ! Bagaimana pendapat kalian tentang kedudukan dan silsilah keturunanku ?"
Mereka menjawab, "Demi Allah, anda adalah simbol keutamaan. Kemuliaan anda tidak lagi diragukan."
Kemudian Yazid berkata, "Kalian aku kumpulkan di sini untuk suatu masalah yang maha penting. Aku ingin meminta saran dan pertolongan kalian."
Mereka serempak menjawab, "Demi Allah, kami hanya menginginkan kebaikan untuk anda. Apapun yang anda katakan akan kami ikuti. Katakanlah, kami siap mendengarnya !"
Yazid lebih lanjut berkata, "Mu'awiyah telah mati. Kematiannya tidak menjadikan kita berduka. Ingatlah bahwa dinding ketidakadilan dan kedurjanaan telah roboh. Pondasi kezaliman telah runtuh. Sebelum kematiannya, ia telah mengambil baiat utnuk anaknya. Dia mengira bahwa yang dilakukannya itu sudah cukup untuk membuat baiat itu legal dan resmi. Tapi ketahuilah bahwa apa yang diinginkannya ini jauh dari kenyataan. Demi Allah, usahanya hanya sia-sia belaka. Tindakannya ini hanya mendatangkan kehinaan buatnya. Dan sekarang anaknya, Yazid, seorang penenggak khamar dan pemuka para pendosa, mengaku sebagai khalifah kaum muslimin. Dia ingin memerintah tanpa restu dari mereka. Padahal ia tidak mempunyai kebijakan dan ilmu pengetahuan sama sekali. Dia sedikitpun tidak mengenal kebenaran. Aku bersumpah demi Allah, dengan sumpah sejati, bahwa berperang melawannya demi tegaknya agama lebih utama dari pada berperang melawan kaum musyrikin.
Sedangkan Al-Husain bin Ali, anak dari putri Rasulullah saw. adalah pemilik kemuliaan yang sebenarnya. Keutamaannya tak dapat disifati dan ilmunya tak terbata.s. Beliaulah yang lebih berhak untuk memegang kekuasaan, karena keutamaan, usia, pengalaman dan kekerabatannya dengan Rasulullah saw. Dia orang yang lemah lembut terhadap anak kecil dan menghormati orang yang lebih tua. Dialah sebaik-baik pemimpin dan imam bagi umat. Kita semua wajib untuk mengikutinya. Cukup banyak bukti untuk mentaatinya.
Jangan sampai kalian mnyimpamg dari jalan yang benar dan terjerumus ke jurang kebatilan. Ingatlah bahwa Shakhr bin Qais[45] telah menghinakan kalian dalam perang Jamal. Karena itu, cucilah dosa kalian dengan keluar menyambut ajakan putra Rasulullah ini dan membelanya. Demi Allah, tak ada seorangpun yang lalai untuk membantu dan membelanya kecuali Allah SWT akan menurunkan kehinaan atas anak cucunya dan memperkecil jumlah keluarganya. 
Lihatlah, kini aku telah mengenakan baju perang. Siapapun dia, jika tidak tewas terbunuh, pasti akan mati juga. Siapapun yang lari, ajal tetap akan menjemputnya. Karena itu, aku berharap bahwa jawaban kalian adalah yang terbaik untuk kalian sendiri. Semoga Allah menurunkan rahmatNya atas kalian."
Bani Handzalah bangkit dan berseru,
"Wahai Abu Khalid, kami ibarat anak panah busurmu dan pasukan berkuda kaummu. Jika anda lepaskan anak panah itu, ia akan jatuh tepat di sasaran. Dan jika anda berperang bersama kami pastilah anda akan menang. Demi Allah, tak ada lautan yang anda selami kecuali kami akan bersama anda menyelaminya. Dan tak ada satu masalahpun yang anda hadapi kecuali kami akan bersama anda menghadapinya. Kami akan membela anda dengan pedang dan membentengi anda dengan tubuh kami.[46] Bangkitlah jika itu yang anda inginkan."
Bani Sa'ad bin Zaid[47] angkat suara dan mengatakan,
"Wahai Abu Khalid, tak ada yang lebih kami benci dari menentangmu dan meninggalkan pendapatmu. Dulu Shakhr bin Qais menyuruh kami untuk meninggalkan medan perang, tapi kami tolak ajakannya dan kami turuti keyakinan kami sendiri,sehingga kehormatan tetap kami miliki. Beri kami waktu untuk merundingkan masalah ini, jawabannya akan segera kami sampaikan kepada anda."
Bani Amir bin Tamim berkata,
"Wahai Abu Khalid, kami putra saudara ayahmu dan pembela-pembelamu. Kami tidak akan rela jika engkau marah. Dan jika anda pergi kami tak akan tinggal diam. Terserah padamu. Ajaklah kami, pasti akan kami penuhi ajakanmu. Perintahlah kami pasti akan kami lakukan perintahmu. Semua terserah padamu."
Yazid bin Mas'ud merasa lega dan berkata, 
"Wahai bani Sa'ad, demi Allah, jika yang kalian katakan itu benar-benar kalian lakukan, niscaya Allah tidak akan mengangkat pedang dari tangan kalian. Dan kalian akan selalu mulia dengan kekuatan yang ada di pedang kalian itu."
Kemudian ia menulis surat kepada Imam Husein a.s., yang berbunyi:
Bismillahir Rahmanir Rahim
Amma ba'du.
Surat anda telah saya terima. Saya telah memahami maksud ajakan dan seruan anda untuk mentaatimu dan bergegas membantumu. Semoga Allah tidak pernah akan mengosongkan bumi dari orang yang berbuat kebajikan dan menjadi petunjuk jalan keselamatan. Kalian adalah hujjah Allah atas para hambaNya dan amanat yang Dia dititipkan di muka bumi. Kalian berasal dari pokok zaitun Ahmad. Dialah pokok sedangkan kalian adalah cabangnya. Datanglah anda pasti yang gembira. Saya telah mengajak bani Tamim untuk menyertai anda. Dan kini mereka menantikan kedatangan anda lebih dari kawanan unta kehausan yang menantikan air. Saya juga telah mengajak bani Sa'ad. Hati-hati mereka yang kotor telah kucuci dengan air hujan yang sejuk sehingga tampak bersih dan berkilau."
Setelah Imam Husein a.s. membaca surat tersebut, beliau berkata,
"Semoga Allah memberimu rasa aman di hari semua orang dicekam oleh rasa takut yang luar biasa dan memuliakan serta memberimu minuman di hari kehausan akbar."
Ketika orang tersebut -Yazid bin Mas'ud- hendak pergi bergabung dengan Imam Husein a.s., berita syahada beliau di Karbala sampai ke telinganya. Diapun bersedih karena tak dapat ikut serta terbunuh bersama beliau.
Adapun Mundzir bin Jarud, bersama dengan utusan Al-Husain a.s. dan surat yang dibawanya, ia pergi menghadap Ubaidillah bin Ziyad. Sebab ia khawatir bahwa surat ini dikirim oleh mata-mata Ubaidillah. Di samping itu, Bahriyah[48] anak perempuan Mundzir adalah istri Ubaidillah. Sang gubernur segera menangkap duta Al-Husain itu dan mensalibnya. Kemudian ia naik ke atas mimbar dan menyampaikan pidatonya yang berisi ancaman kepada penduduk kota Bashrah untuk tidak menentangnya dan menyebarkan fitnah yang berbahaya.
Malam itu ia dapat beristirahat dengan tenang. Keesokan harinya, ia menunjuk saudaranya, Utsman bin Ziyad[49], untuk duduk menggantikannya dalam tugasnya sebagai gubernur Bashrah. Ia sendiri pergi bertolak menuju kota Kufah.
Mendekati kota Kufah, perjalanan ia hentikan untuk menunggu gelapnya suasana. Malam hari, Ubaidillah berjalan memasuki kota Kufah. Penduduk kota yang menyangka bahwa orang itu adalah Al-Husain a.s., segera larut dalam kegembiraan,karena orang yang telah sekian lama mereka nantikan kini telah berada di tengah-tengah mereka. Mereka segera menyambut kedatangannya dan bergerak mendekat. Namun tiba-tiba mereka lari terbirit-birit saat mengenali wajah orang yang baru datang yang ternyata adalah Ibnu Ziyad ini.
Ubaidillah masuk ke dalam istana gubernur dan beristirahat sampai pagi.
Esok harinya, ia naik ke atas mimbar. Sambil menghadap penduduk kota Kufah, ia menyampaikan pidatonya yang berisi ancaman bagi para pembangkang khalifah dan janji-janji muluk bagi yang setia dan patuh kepadanya.
Sewaktu Muslim mendengar berita tersebut, beliau cemas kalau-kalau kabar kedatangannya sebagai duta Al-Husain a.s. sampai ke telinga Ubaidillah. Maka beliaupun bergegas meninggalkan rumah Mukhtar menuju ke rumah Hani bin 'Urwah[50]. Hani dengan senang hati menerima dan memberinya tempat. Para pengikut Ahlul Bait a.s. berdatangan silih berganti di rumah tersebut. Di lain pihak Ubaidillah telah lebih dulu menyebar mata-matanya untuk mengawasi rumah Hani dan menangkap Muslim.
Setelah yakin bahwa Muslim bin Aqil berada di rumah Hani, Ubaidillah lantas memanggil Muhammad bin Asy'ats[51], Asma' bin Kharijah[52] dan 'Amr bin Hajjaj. Kepada mereka dia berkata, "Apa gerangan yang menyebabkan Hani bin 'Urwah tidak datang menemuiku ?" 
Mereka menjawab," Entahlah, kami tidak tahu." Ada yang lantas berujar, "Dia sedang sakit, tuan."
"Aku sudah dengar itu," seru Ubaidillah."Tapi kabarnya dia sudah sembuh dan asyik duduk-duduk di depan rumahnya. Kalau tahu bahwa dia masih sakit, pasti akan kubesuk dia. Kalian, pergilah dan temui dia. Suruh dia untuk tidak melupakan kewajibannya terhadap kami. Aku tidak suka berurusan dengan orang seperti dia, sebab dia masih termasuk bangsawan Arab."
Mereka lalu pergi menemui Hani. Sore hari, mereka sampai di depan pintu rumah Hani. Kepadanya mereka bertanya, "Apa yang membuatmu enggan menemui tuan gubernur ? Tadi beliau menyinggung masalah anda, seraya mengatakan, jika Hani sakit maka aku akan segera membesuknya."
"Sakit inilah yang menghalangiku," jawab Hani.
"Ubaidillah mendapat laporan bahwa anda setiap petang hari duduk-duduk di serambi rumah anda. Dia merasa bahwa anda enggan untuk menemuinya, karena keterlambatan anda ini. Keterlambatan dan sikap keras kepala dari orang seperti anda tidak dapat diterima oleh seorang penguasa. Sebab anda adalah seorang pembesar kota ini. Oleh karena itu, kami bersumpah untuk membawa anda segera menemuinya," ujar mereka lagi.
Hani meminta pakaian dan kudanya. Setelah berganti pakaian dan duduk di atas kuda, mulailah mereka bergerak menuju istana gubernur.Saat mereka hampir sampai ke tempat tujuan, tiba-tiba dia mendapatkan firasat bahwa ada sesuatu yang bakal terjadi. Kepada Hassan bin Asma' bin Kharijah ia berkata,"Wahai keponakanku, aku merasa cemas untuk bertemu dengan orang ini. Bagaimana denganmu ?"
Hassan menjawab, "Demi Allah, paman, aku tidak merasakan bahwa akan ada sesuatu yang bakal terjadi. Jangan berpikir yang tidak-tidak." Hassan tidak menyadari maksud Ubaidillah bin Ziyad memanggil Hani.
Hani telah sampai di istana bersama orang-orang tadi. Lalu mereka masuk ke ruangan Ubaidillah. Sewaktu pandangan Ubaidillah jatuh ke wajah Hani, iapun berseru, "Akhirnya pengkhianat ini datang juga."
Lalu ia menoleh ke arah Syuraih[53], hakim kota, yang duduk di sampingnya seraya menunjuk Hani dan membawakan bait syair 'Amr bin Ma'dikarib Al-Zubaidi[54]:
Kuingin dia hidup, tapi ia inginkan kematianku
Sungguh mengherankan kawanmu dari Murad ini
"Apa yang anda maksudkan itu, wahai tuan gubernur ?" tanya Hani.
Ubaidillah bin Ziyad menjawab, "Suara sumbang yang terjadi di rumahmu yang mengancam Amirul Mukminin Yazid dan menyebabkan fitnah di kalangan kaum muslimin. Bukankah kau telah membawa Muslim bin Aqil ke rumahmu. Lalu kau mengumpulkan senjata dan menyusun kekuataan militer. Kau kira kami tidak tahu ?"
"Sungguh aku tidak melakukan hal itu, " sanggah Hani.
"Bohong. Kau telah melakukannya", tegas Ibnu Ziyad.
"Semoga Allah meluruskan tuan gubernur. Saya tidak pernah melakukan hal yang anda tuduhkan itu," bantah Hani lagi.
"Panggil budakku Mi'qal[55]," seru Ibnu Ziyad dengan geram. Mi'qal adalah nama seorang budak yang ditugaskan oleh Ubaidillah bin Ziyad untuk memata-matai setiap gerakan yang mencurigakan dari para pecinta Ahlul Bait A.S. Ia banyak mengetahui rahasia mereka.
Mi'qal datang dan berdiri di hadapan sang Amir. Saat pandangan Hani jatuh ke wajah orang tersebut, sadarlah ia bahwa selama ini ia selalu dimata-matai oleh budak Ubaidillah bin Ziyad. 
Hani segera berkata, "Semoga Allah meluruskan tuan. Demi Allah, aku tidak pernah memanggil maupun mengundang Muslim bin Aqil ke rumahku. Tapi sewaktu ia datang sendiri ke rumahku dan meminta perlindunganku, aku tidak dapat menolaknya. Aku terikat janji dengannya untuk memberinya perlindungan. Aku kira anda cukup mengetahui posisiku dalam masalah ini. Karena itu biarkan aku pulang ke rumah dan menyuruhnya pergi meninggalkan rumahku, kemana saja dia suka. Dengan itu aku terlepas dari tanggungan ini."
Ibnu Ziyad menolak permintaan Hani dan berkata, "Demi Allah, tak akan kubiarkan engkau keluar dari sini kecuali setelah menyerahkan orang itu."
"Aku bersumpah untuk tidak menyerahkannya kepadamu. Jangan dikira bahwa aku akan rela menyerahkan tamuku padamu untuk kau bunuh," sergah Hani.
"Tak ada pilihan lain selain kau harus menyerahkannya padaku," seru Ibnu Ziyad.
"Demi Allah, tidak mungkin akan kuserahkan," jawab Hani.
Ketika dialog antara keduanya kian memanas, Muslim bin 'Amr Al-Bahili[56] bangkit dan berkata, "Semoga Allah melindungi tuan gubernur! Biarkan aku berdua bersamanya, biar kubujuk dia." 
Mereka berdua pergi ke salah satu sudut istana -di tempat yang sekiranya Ibnu Ziyad dapat melihat mereka dan mendengar pembicaraan mereka. Tiba-tiba suara mereka bertambah tinggi.
Muslim berkata, "Hai Hani, kuingatkan engkau kepada Allah ! Jangan kau binasakan dirimu sendiri dan membuat permasalahan untuk keluargamu! Demi Allah, aku tidak ingin kau mati terbunuh. Muslim bin Aqil masih termasuk famili mereka sendiri. Mereka tidak mungkin akan melukai apalagi sampai membunuhnya. Karena itu serahkan saja ia kepadanya! Jika hal itu kau lakukan masyarakat tidak akan mencelamu, sebab kau telah menyerahkannya kepada penguasa."
Hani menjawab, "Demi Allah, sungguh aib dan cela yang besar buatku bila hal itu sampai kulakukan. Jadi kau menyuruhku untuk menyerahkan orang yang kulindungi sekaligus tamu dan utusan putra Rasulullah SAW., kepada musuhnya, padahal aku masih segar bugar dan memiliki banyak orang yang siap membelaku? Demi Allah, seandainya aku hanya sendirian tanpa ada seorangpun yang siap membelaku tak akan pernah aku menyerahkannya walaupun harga yang harus aku tebus adalah nyawaku ini."
Ketika Ibnu Ziyad mendengar jawaban Hani tersebut mendadak ia naik pitam dan berteriak, "Bawa dia kemari!" 
Hani dibawa mendekat ke Ibnu Ziyad. Kepadanya Ubaidillah berkata, " Demi Allah, serahkan dia kepadaku atau kupenggal batang lehermu !"
"Kalau begitu akan banyak pedang yang mengepung rumahmu," jawab Hani.
"Oh, kasihan kau ini Hani. Kau takut-takuti aku dengan pedang," cibir Ubaidillah. Hani mengira bahwa sanak keluarganya akan menanggapi apa yang ia katakan tadi. 
"Bawa dia lebih dekat lagi!", seru Ibnu Ziyad kemudian. Ketika Hani telah berada di dekatnya, tiba-tiba Ubaidillah memukulkan kayu ke wajahnya. Hidung, dahi dan pipinya menjadi sasaran pukulan Ibnu Ziyad yang bertubi-tubi itu. Hidung Hani retak. Darah segar mengucur membasahi bajunya. Daging pipi dan dahinya menonjol keluar. Pukulan Ibnu Ziyad tidak berhenti sampai kayu tersebut patah dan terbelah.
Hani mengayunkan tangannya ke pangkal pedang seorang pengawal yang berada di dekatnya. Dengan gerakan refleks, pengawal itu menarik pedangnya. Tiba-tiba terdengar suara Ibnu Ziyad yang mengatakan, "Tangkap dan seret dia!" 
Hani ditangkap lalu dimasukkan ke dalam satu ruangan di istana yang dikunci dari luar. Kini Hani tak dapat lolos lagi. 
"Jaga dan awasi dia!", perintah Ubaidillah. Perintah dijalankan.
Asma' bin Kharijah -menurut sebagian riwayat Hassan bin Asma'- berdiri dan menghampiri Ibnu Ziyad. Kepadanya ia berkata, "Apakah hari ini semua orang sudah menjadi pengecut dan licik ? Tuan gubernur, anda menyuruh kami untuk membawa dia menghadapmu. Tapi setelah kami berhasil membawanya kemari, anda lalu memukul wajahnya hingga darah mengalir dari rongganya dan membasahi janggutnya. Bahkan andapun mengancam akan membunuhnya."
Mendengar itu Ubaidillah naik pitam. "Tetap di tempat!," bentaknya. Kemudian ia menyuruh para prajuritnya untuk mencambuknya. Setelah puas, dalam keadaan tangan dan kaki yang dibelenggu, ia ditahan di salah satu sudut istana. 
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Berita kematianmulah, wahai Hani, yang dapat aku sampaikan," batinnya.
Berita terbunuhnya Hani segera tersebar dan sampai ke telinga 'Amr[57] bin Hajjaj. -Ruwaihah[58] putri 'Amr adalah istri Hani- 'Amr bersama dengan seluruh kabilah bani Midzhaj segera datang dan mengepung istana.
Dengan suara yang lantang dia berkata, "Aku 'Amr bin Hajjaj dan ini para jawara bani Midzhaj. Kami adalah orang-orang yang loyal pada pimpinan dan kelompok kami. Kami dengar bahwa saudara kami, Hani, terbunuh di sini."
Ubaidillah sadar bahwa sesuatu yang tak diinginkannya bakal terjadi, melihat kedatangan mereka dan apa yang mereka katakan. Lantas ia memerintahkan Syuraih untuk masuk ke tempat di mana Hani disekap dan melihat keadaannya, lalu memberitahukan keselamatannya kepada keluarga dan kabilah Hani. Syuraih melakukan apa yang diperintahkan oleh Ibnu Ziyad. Mendengar kesaksiannya, kaum kerabat Hani lega dan beranjak meninggalkan istana. 
Berita tersebut segera menyebar dan sampai pada Muslim bin Aqil. Beliau lalu keluar bersama orang-orang yang telah membaiatnya untuk menyerang Ubaidillah. 
Ibnu Ziyad hanya bisa berlindung di balik tembok istana untuk menghindar dari Muslim. Pertempuran antara pasukan Muslim dan tentara istana pun berkobar. Orang-orang Ibnu Ziyad yang berada di dalam istana dengan setia menemaninya dan menakut-nakuti para pengikut Muslim akan bala tentara yang segera tiba dari Syam. Pertempuran terus berlanjut sampai malam hari.
Pasukan Muslim mulai meninggalkan sang komandan seraya berbisik satu sama lain, Kenapa kita mesti mempercepat datangnya fitnah? Bukankah lebih baik kita tinggal di dalam rumah dan tidak ikut campur urusan mereka? Serahkan saja pada Allah yang akan mendamaikan mereka yang berselisih!"
Pasukan Muslim hanya tersisa sepuluh orang saja. Bersama dengan sepuluh orang tadi, muslim masuk ke dalam mesjid untuk menunaikan sholat maghrib berjamaah. Mereka inipun pergi meninggalkannya. 
Melihat apa yang terjadi, dengan langkah gontai, Muslim berjalan seorang diri menelusuri lorong-lorong kota Kufah. Sampai di depan pintu rumah seorang wanita tua bernama Thau'ah[59], beliau meminta seteguk air kepadanya. Wanita tua itu menyodorkan segelas air kepadanya. 
Kemudian Muslim meminta perlindungan darinya. Iapun dengan senang hati menerima kehadiran Muslim. Anak si wanita setelah tahu apa yang terjadi di rumahnya, segera menyampaikan berita kepada Ubaidillah bin Ziyad. Ubaidillah mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Muhammad bin Asy'ats untuk menangkap Muslim.
Muslim yang mendengar suara ramai derap kaki kuda sadar bahwa keberadaannya di rumah itu telah diketahui oleh Ibnu Ziyad. Secepat kilat ia mengenakan baju besinya dan naik ke atas kuda lalu menyerang pasukan kiriman Ubaidillah tersebut.
Setelah Muslim berhasil menewaskan beberapa orang, tiba-tiba Muhammad bin Asy'ats berseru, "Hai Muslim, menyerahlah ! Aku menjamin keselamatanmu."
"Jaminan keselamatan apa yang dapat diberikan oleh orang-orang licik dan durjana ?" jawab Muslim. Beliaupun lantas meneruskan pertarungan tak berimbang itu sambil mendendangkan bait-bait syair Hamran bin Malik Al-Khats'ami[60] pada perang Qaran yang berbunyi:
Aku bersumpah tak akan mati kecuali dalam kebebasan
Walupun kulihat maut sangatlah menakutkan
Aku benci menjadi sasaran muslihat dan tipuan
Atau mencampur rasa dingin panas dan kepahitan
Semua pasti kan temui kemalangan suatu hari
Kutebas kalian apapun akibatnya, aku tak perduli
Mereka menyahut, "Tak ada makar dan tipu muslihat di sini." Muslim tak menggubris. Melihat itu, mereka serentak bersama-sama menyerangnya. Muslim yang sudah mengalami banyak luka di tubuhnya, akhirnya ditikam dari belakang oleh seseorang hingga jatuh tersungkur. Selanjutnya ia ditangkap sebagai tawanan.
Ketika dihadapkan pada Ubaidillah bin Ziyad, Muslim masuk tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Pengawal istana yang menyaksikan hal itu langsung menghardiknya dan berkata, "Ucapkan salam pada tuan gubernur!"
"Tutup mulutmu! Demi Allah dia bukan tuanku," jawab Muslim.
Ibnu Ziyad menyahut, "Biarkan saja, tidak apa-apa. Kau mau mengucapkan salam atau tidak itu sama saja. Sebentar lagi kau juga akan mati."
Muslim menjawab, "Aku tidak terkejut mendengar kau akan membunuhku. Sebab dulu orang yang lebih jahat darimu juga telah membunuh orang yang jauh lebih baik dari aku. Selain itu, aku tahu bahwa kau tidak lepas dari pembunuhan dengan cara yang keji, mencincang, hati yang busuk dan cacian kemenangan. Tak ada yang lebih berhak atas hal itu kecuali engkau."
Dengan geram Ubaidillah berkata, "Hai pembangkang dan pengacau! Kau sudah melawan imam dam pemimpinmu sendiri. Kau rusak persatuan kaum muslimin dan tebarkan fitnah di antara mereka."
"Bohong! Yang merusak persatuan kaum muslimin adalah Mu'awiyah dan anaknya, Yazid. Sedangkan yang menebarkan fitnah adalah engkau dan ayahmu, Ziyad bin Ubaid[61], budak bani 'Ilaj dari Tsaqif. Aku berharap semoga Allah mengaruniaku syahadah di tangan orang yang paling jahat," jawab Muslim.
Ubaidillah sambil mencibir Muslim berkata, " Kau menginginkan sesuatu (kepemimpinan) yang Allah tidak kehendaki. Dia melihat bahwa kau bukanlah orang yang pantas untuk mendapatkannya. Karena itu, Dia telah memberikannya kepada yang layak."
Muslim bertanya, "Hai putra Marjanah, siapa orang berhak itu ?"
Ubaidillah menjawab, "Yazid bin Mu'awiyah."
"Al-Hamdulillah. Kami rela menjadikan Allah sebagai hakim di antara kita," ujar Muslim.
"Apa kau mengira pantas untuk mendapatkan kekuasaan ?", tanya Ubaidillah.
"Bukan hanya perkiraan dan sangkaan, tapi yakin dan pasti," jawab Muslim.
"Hai Muslim, katakan padaku, apa maksud kedatanganmu ke kota ini, yang dulu suasananya tenang dan hubungan di antara merekapun baik tapi sekarang engkau rusak suasana dan persatuan mereka?", kata Ubaidillah.
Muslim menjawab, "Tujuan dan maksud kedatanganku bukan seperti yang kau tuduhkan. Tapi ketika kalian dengan terang-terangan melakukan hal-hal yang mungkar, kalian kubur hal-hal yang ma'ruf, kalian memerintah atas umat ini tanpa restu dari mereka, kalian bawa mereka ke arah yang tidak Allah ridhai, dan kalian melakukan seperti apa yang dilakukan oleh raja-raja Persia dan kaisar Rumawi, maka sekarang aku datang untuk menegakkan kebajikan ( ma'ruf ) dan melarang kekejian ( mungkar ) sekaligus mengajak mereka untuk kembali ke hukum Allah dan Rasul-Nya. Kamilah orang yang paling layak untuk melakukannya, seperti yang telah dititahkan oleh Rasulullah saw."
Ubaidillah - la'natullah 'alaihi - mulai ,mencaci-maki Imam Ali, Al-Hasan dan Al-Husain a.s.
"Kau dan ayahmulah yang pantas untuk menerima cacian dan makian itu. Lakukanlah apa yang kau maukan, hai musuh Allah !", potong Muslim.
Selanjutnya Ubaidillah memanggil Bukair bin Hamran[62] dan menyuruhnya untuk pergi ke atas istana dengan membawa Muslim dan kemudian membunuhnya. Bukairpun pergi ke atas istana dengan membawa Muslim yang mulut dan lidahnya selalu basah dengan ucapan tasbih, istighfar dan salawat kepada Nabi saw. Adegan selanjutnya, kepala Muslim lepas dengan sekali teba.s. Tapi wajah Bukair pucat pasi saat turun dan menghadap Ubaidillah bin Ziyad.
"Ada apa denganmu ?", tanya Ubaidillah.
"Pada saat aku mengayunkan pedangku untuk menebas kepalanya, tiba-tiba kulihat seseorang dengan kulit berwarna hitam legam dan wajah yang menakutkan berada di hadapanku sambil menggigit jari -atau bibirnya-. Melihat itu, aku ketakutan setengah mati. Belum pernah aku merasa takut seperti ini ", jawabnya.
"Ah, kau hanya panik saja," kata Ubaidillah mencoba menghibur.
Kemudian Ibnu Ziyad memerintahkan agar Hani bin Urwah segera dibunuh. Hani hanya bisa berteriak memanggil sanak keluarganya, " Wahai bani Midzhaj! Di manakah kalian wahai bani Midzhaj? Di mana sanak keluargaku ? "
Algojo berkata kepadanya, "Julurkan lehermu!"
Hani menjawab, "Demi Allah, aku bukan orang dermawan yang mau memberikan kepalaku. Dan tidak mungkin aku akan membantu orang dalam membunuhku."
Budak Ubaidillah bin Ziyad yang bernama Rasyid[63] segera memukul dan menghabisinya.
Berkenaan dengan terbunuhnya Muslim dan Hani, Abdullah bin Zubair Al-Asadi[64] mengatakan dalam bait syairnya[65].
Jika kau tak tahu apakaha maut itu
Lihatlah Hani dan Muslim putra Aqil
Jawara dengan kepala pecah karena pedang
Dan yang gugur jatuh dari ketinggian
Keduanya korban kebiadaban para durjana
Yang menjadi buah bibir semua orang
Kau lihat jasad dengan warna dirubah maut
Dan darah segar membasahi tubuh mereka
Kesatria pemalu bak seorang gadis
Tajam melebihi pedang bermata dua
Asma' kini tak merasa aman di atas kudanya
Di saat bani Midzhaj hendak menebus darah darinya
Bani Murad mengitarinya, sedang mereka semua
Baik pemimpin maupun rakyat telah siaga
Jika kalian tak mau menuntut balas darinya
Jadilah wanita murah yang puas dengan sedikit harta
Setelah itu, Ubaidillah bin Ziyad menulis sepucuk surat kepada Yazid bin Mu'awiyah dan memberitahukan kepadanya bahwa ia telah berhasil membunuh Muslim bin Aqil dan Hani bin Urwah.
Menanggapi surat tersebut, Yazid membalas dengan mengirimkan surat yang berisi rasa terima kasihnya atas apa yang telah diperbuat oleh Ibnu Ziyad terhadap mereka berdua. Selain itu, ia juga mengabarkan akan keberangkatan Al-Husain a.s. menuju Kufah, sekaligus memerintahkannya untuk menindak tegas dan memenjarakan siapa saja yang condong kepada beliau a.s. walaupun atas dasar praduga murni.
Al-Husain a.s. meninggalkan kota Mekah pada hari Selasa[66] tanggal 3 Dzulhijah, dan menurut pendapat lain tanggal 8 Dzulhijjah[67], tahun 60 H, sebelum berita terbunuhnya Muslim bin Aqil sampai ke telinga beliau. Sebab beliau keluar dari Mekah pada hari Muslim terbunuh.
Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Al-Thabari Al-Imami[68] dalam kitabnya "Dalailu Al-Imamah[69]"meriwayatkan dari Abu Muhammad Sufyan bin Waki'[70] dari ayahnya, Waki'[71], dari A'masy[72]. Ia mengatakan, "Abu Muhammad Al-Waqidi[73] dan Zurarah bin Khalaj[74] mengatakan padaku, "Kami pergi menemui Al-Husain bin Ali a.s. tiga hari sebelum beliau keluar menuju Irak[75]. Kepada beliau kami katakan bahwa penduduk Kufah adalah orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Hati mereka bersama beliau tapi pedang mereka menghadap beliau.
Kemudian beliau menunjuk ke ata.s. Tiba-tiba pintu-pintu langit terbuka dan para malaikat turun ke bumi dalam jumlah yang terhitung kecuali oleh Allah SWT. Kemudian beliau berkata, "Jika bukan karena takdir yang sudah ditentukan dan dekatnya kematianku, akan kuperangi mereka dengan pasukan malaikat ini. Akan tetapi, di sanalah pusaraku dan pusara para sahabatku. Tak akan ada yang selamat kecuali anakku, Ali."
Disebutkan bahwa ketika hendak berangkat menuju Irak, di depan khalayak beliau berdiri menyampaikan khutbahnya:
"Maha suci Allah. Segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya. Tiada kekuatan kecuali dengan izinnya. Salawat dan salam Allah atas Rasul-Nya. Maut adalah sesuatu yang melingkar pada manusia bagai seuntai kalung yang melingkar di leher seorang dara. Betapa rindunya aku untuk segera berjumpa dengan para pendahuluku melebihi rindunya Ya'qub kepada anaknya, Yusuf a.s. 
Sebaik-baik hal bagiku adalah kematian yang akan kualami. Aku dapat menyaksikan badanku dicabik-cabik oleh serigala-serigala buas padang pasir di sebuah tempat di antara Nawasis[76] dan Karbala. Mereka lalu mengisi penuh kantong-kantong mereka yang kosong. Tak ada lagi tempat pelarian dari kejaran takdir.
Ridha Allah adalah ridha kami Ahlul Bait. Kami akan tabah dan mengahadapi segala cobaan dan ujian-Nya, dan berharap Allah akan memberikan pahala-Nya yang besar kepada mereka yang sabar. Daging yang berasal dari Rasulullah saw. tidak akan terpisah darinya. Tapi sebaliknya, akan berkumpul dengannya menjadi satu di hadapan Allah, Tuhan yang Mahasuci. Beliau akan gembira melihat mereka dan melalui merekalah semua janjinya akan terpenuhi. 
Barang siapa yang siap mengorbankan jiwa raganya demi kami dan ingin segera berjumpa dengan Allah segelah bergabung dengan kami. Karena esok pagi aku akan segera berangkat, insya Allah."[77]
Diriwayatkan dari Muhammad bin Daud Al-Qummi[78] dengan sanadnya dari Abu Abdillah Imam Ja'far Shadiq a.s., beliau berkata, "Pada malam hari keberangkatan Al-Husain a.s. dari Mekah menuju Kufah, Muhammad bin Al-Hanafiyyah[79] datang menemui beliau dan berkata, "Saudaraku, bukankah engkau telah mengetahui kelicikan penduduk Kufah terhadap ayah dan abangmu ? Aku takut dan cemas nasibmu akan berakhir seperti mereka berdua yang telah lebih dulu pergi meninggalkan kita. Aku memohon agar engkau mau tetap tinggal di sini, sebab engkau adalah orang yang paling mulia dan terhormat di kota suci ini."
Al-Husain a.s. menjawab,"Adikku, aku takut Yazid bin Mu'awiyah akan membunuhku di kota suci ini, sehingga aku menjadi penyebab terinjak-injaknya kehormatan Baitullah."
Ibnu Al-Hanafiah berkata lagi."Kalau begitu pergi saja ke Yaman[80] atau kota lainnya ! Di sana orang-orang akan menghormatimu, sehingga tidak ada orang yang dapat mencelakanmu," 
"Baik, akan kupertimbangkan saranmu itu,"jawab Al-Husain a.s.
Mendekati subuh, Al-Husain a.s. bergerak meninggalkan kota. Berita keberangkatan beliau segera sampai ke telinga Muhammad bin Al-Hanafiyyah. Bergegas ia pergi menyusul Al-Husain a.s. Ibnu Al-Hanafiyyah menarik tali kekang kuda yang dinaiki oleh abangnya itu seraya berkata, "Bukankah engkau telah berjanji padaku untuk mempertimbangkan saranku, wahai saudaraku ?"
"Benar," jawab Al-Husain a.s..
"Lalu mengapa engkau buru-buru pergi ?", tanyanya lagi.
Dalam jawabannya, Al-Husain a.s. berkata, "Setelah engkau pergi meninggalkanku, Rasulullah saw. datang kepadaku dan bersabda, "Anakku Husein, pergilah! Karena Allah berkehendak untuk menyaksikanmu mati terbunuh."
Muhammad bin Al-Hanafiyyah tersentak kaget dan mengatakan, "Inna lillahi wa inna ilahi raji'un. Tapi mengapa engkau membawa wanita-wanita ini bersamamu, padahal kepergianmu seperti yang engkau katakan ?"
Al-Husain menjawab, "Beliau saw. juga bersabda bahwa Allah SWT. berkehendak untuk melihat mereka diseret sebagai tawanan."
Kemudian beliau mengucapkan selamat tinggal kepada adiknya itu dan meneruskan perjalanannya.[81]
Kemudian Al-Husain a.s. memulai perjalanannya. Ketika sampai di Tan'im[82], beliau berpapasan dengan rombongan yang membawa hadiah, utusan Buhair bin Raisan Al-Himyari[83], gubernur Yaman. Hadiah yang sedianya akan diserahkan kepada Yazid bin Mu'awiyah itu beliau ambil, karena beliau adalah pemimpin kaum muslimin yang sebenarnya.
Kepada para pemilik unta pembawa hadiah tersebut beliau berkata, "Barag siapa yang mau ikut bersama kami pergi ke negeri Irak, upah sewa untanya akan kami bayar dan akan kami perlakukan dia dengan baik. Dan siapa yang tidak mau dan ingin berpisah dari kami, upah perjalanan yang telah ia tempuh akan kami berikan." 
Sebagian menerima tawaran baik Al-Husain a.s. dan yang lain memilih untuk tidak meneruskan perjalanan bersama beliau.
Kemudian beliau melanjutkan perjalanannya. Sesampainya di Zatu 'Irq[84], beliau berjumpa dengan Bisyr bin Ghalib[85] yang baru saja meninggalkan negeri Irak. Kepadanya beliau Imam a.s. bertanya tentang keadaan ahli Irak. Bisyr menjawab, "Aku baru saja meninggalkan satu kaum yang hati mereka bersamamu tetapi pedang mereka bersama bani Umayyah."
Beliau lantas berkata, "Orang ini berkata benar. Allah berbuat sesuatu yang Dia kehendaki dan menentukan apa yang Dia mau."
Al-Husain a.s. melanjutkan perjalanannya. Ketika sampai di Tsa'labiyyah[86], matahari sudah tinggi. Beliau beristirahat dan tertidur. Setelah bangun beliau berkata, "Aku mendengar suara yang mengatakan, kalian pergi disertai oleh maut yang siap menghantarkan kalian ke surga."
Putra beliau yang bernama Ali segera bertanya, "Ayah, bukankah kita berada di jalan yang benar ?"
"Ya, demi Tuhan yang menjadi tempat kembali semua hamba," jawab Al-Husain a.s.
"Kalau begitu kita tidak perlu takut menyongsong kematian," ujar sang anak mantap.
Dengan perasaan bangga Al-Husain a.s. berkata, "Semoga Allah memberimu sebaik-baik pahala yang Dia berikan kepada anak yang berbakti kepada orang tuanya."
Malam itu Al-Husain a.s. bermalam di tempat tersebut. Esok harinya, seorang penduduk Kufah yang dikenal dengan nama Abu Hirrah Al-Azdi[87] datang menemui beliau. Setelah mengucapkan salam, Abu Hirrah berkata, "Wahai putra Rasulullah, apa yang mendorong anda untuk meninggalkan kota suci Allah dan kota suci kakekmu, Rasulullah saw. ?"
Al-Husain a.s. menjawab, "Hai Abu Hirrah, ketika bani Umayyah merampas harta bendaku, aku bersabar. Demikian pula sewaktu mereka menginjak-injak kehormatanku. Kini mereka ingin membunuhku, karena itulah aku pergi melarikan diri. Demi Allah, aku pasti akan dibantai oleh sekelompok orang. Dan Allah akan menghukum mereka dengan kehinaan dan kebinasaan. Allah akan menjadikan mereka dikuasai oleh orang yang akan menghinakan mereka sehingga mereka menjadi hina lebih dari bangsa Saba' saat diperintah oleh seorang wanita yang menguasai harta dan jiwa mereka lalu menghinakan mereka."
Al-Husain a.s. meneruskan perjalanannya.
Sekelompok orang dari bani Fazzarah dan Bujailah berkata, "Kami bersama Zuhair bin Al-Qain[88] meninggalkan kota Mekah. Kami berjalan bersama dengan rombongan Al-Husain a.s. Sebenarnya kami tidak suka melakukan perjalanan ini bersama Al-Husain, karena beliau membawa rombongan wanita. Maka dari itu, jika beliau berhenti di suatu tempat, kami pergi ke tempat yang lain dan beristirahat di sana. 
Suatu saat, beliau berhenti dan beristirahat di satu tempat. Kami pun terpaksa berhenti. Sewaktu kami asyik menyantap hidangan makan siang yang telah kami siapkan, tiba-tiba utusan Al-Husain a.s. datang menemui kami. Setelah mengucapkan salam, dia berkata, "Wahai Zuhair bin Al-Qain, Abu Abdillah mengutusku untuk memanggilmu." Kami semua meletakkan kembali makanan yang sudah ada di tangan dan duduk mematung seakan-akan ada burung yang hinggap di atas kepala kami.
Istri Zuhair yang bernama Dailam binti 'Amr [89]menegur dan berkata, "Subhanallah, putra Rasulullah memanggilmu dan engkau tidak mau datang menemuinya? Pergi dan temui beliau, dan dengarkan apa yang akan beliau katakan padamu !"
Zuhair bangkit dan pergi menemui Al-Husain a.s. Tak lama kemudian ia datang kembali dengan wajah yang berseri-seri. Lalu dia meminta barang bawaannya dan pergi bergabung bersama Al-Husain a.s. Kepada istrinya ia berkata, "Engkau aku cerai. Aku tidak menginginkan apa-apa kecuali kebaikan untukmu. Aku bertekad untuk bergabung dengan Al-Husain a.s. dan mempertaruhkan nyawaku demi beliau."
Lalu ia memberikan harta yang menjadi hak sang istri kepadanya dan menitipkannya pada sanak keluarganya untuk mereka serahkan kepada keluarga terdekatnya.
Sang istri menghampiri Zuhair dan mengucapkan selamat jalan. Dengan berlinang air mata, dia berkata, "Allah telah menjatuhkan pilihan-Nya atasmu. Aku mohon engkau tidak lupa padaku di hari kiamat kelak di hadapan kakek Al-Husain a.s."
Kemudian Zuhair berkata kepada kawan-kawannya, "Siapa di antara kalian yang mau ikut bergabung bersamaku ? Siapa yang tidak ingin bersamaku, berarti hari ini adalah hari terakhir hubungan kita."
Al-Husain a.s. melanjutkan perjalanannya. Sesampainya di tempat bernama Zubalah[90], berita syahadah Muslim bin Aqil di tangan algojo Ibnu Ziyad sampai kepada beliau. Sebagian anggota rombongan Al-Husain a.s. yang masih menginginkan hidup dan memiliki keragu-raguan di dalam hati segera pergi meninggalkan beliau. Kini hanya hanya sanak keluarga dan sahabat-sahabat setia Al-Husain a.s. yang masih dengan tegar berada di samping beliau.
Jerit tangis histeris memecahkan suasana menyambut berita syahadah Muslim bin Aqil dan air mata telah membasahi semua tempat.
Al-Husain kembali meneruskan perjalanan ke tempat Allah telah memerintahkannya. Tiba-tiba muncul Farazdaq yang datang menemuinya. Setelah mengucapkan salam, dia berkata, "Wahai putra Rasulullah, mengapa anda masih saja percaya pada orang-orang Kufah, padahal mereka baru saja membunuh Muslim bin Aqil, sepupu dan pengikutmu yang setia."
Dengan berlinang air mata, Al-Husain a.s. menjawab, "Semoga Allah merahmati Muslim. Kini ia berada dalam kenyamanan, kesenangan, kemuliaan dan keridhaan Allah. Dia telah melakukan tugasnya dengan baik. Dan sekarang tugas itu menjadi tanggung jawab kita semua."
Lalu beliau menambahkan:
Jika dunia ini mempunyai harga
Ketahuilah, pahala di sisi Allah lebih berharga
Jika badan tercipta untuk kematian
Maka, kematian di jalan Allah lebih utama
Jika rezeki dibagikan menurut ketentuan
Alangkah baiknya untuk tidak serakah dalam usaha
Jika harta setelah terkumpul akan ditinggalkan
Mengapa orang kikir untuk menginfakkannya 

Selanjutnya Al-Husain menulis surat kepada Sulaiman bin Shurad, Musayyib bin Najbah[91], Rufa'ah bin Syaddad dan sekelompok orang Syiah kota Kufah yang beliau kirimkan lewat Qais bin Musahhar Al-Shaidawi[92]. Ketika hampir masuk kota Kufah, Qais dihadang oleh Hushain bin Numair[93], pengikut setia Ubaidillah bin Ziyad untuk memeriksanya. Qais mengeluarkan surat yang ia bawa dan merobek-robeknya. Hushain menangkap dan membawanya ke hadapan Ubaidillah bin Ziyad.
Setelah sampai dan berdiri di hadapannya, Ibnu Ziyad bertanya, "Siapa kau ? "
"Aku salah seorang pengikut setia Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan anaknya," jawab Qais mantap.
"Lalu mengapa surat itu kau robek ?" tanya Ubaidillah lagi.
"Agar kau tidak mengetahui isinya," jawab Qais ketus.
"Dari siapa dan untuk siapa surat itu?", tanyanya.
"Dari Al-Husain a.s. untuk sekelompok orang Kufah yang tidak kuketahui namanya," jawabnya.
Ibnu Ziyad naik pitam dan berkata,"Demi Allah, kau tidak akan kuizinkan untuk meninggalkan tempat ini sebelum memberitahu nama-nama mereka, atau kau naik ke atas mimbar untuk melaknat Al-Husain, ayah dan saudaranya. Jika tidak, kau akan kubunuh dan kucincang."
Mendengar itu Qais berkata, "Nama-nama mereka tidak akan kusebutkan. Tapi kalau melaknat Al-Husain, ayah dan saudaranya, aku siap untuk melakukannya."
Qais naik ke atas mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah dan bersalawat kepada Nabi Muhammad saw., dia memuji dan mengagungkan Ali dan keturunannya. Setelah itu ia melaknat Ubaidillah bin Ziyad dan ayahnya serta seluruh antek-antek bani Umayyah. Katanya, 
"Wahai penduduk Kufah! Aku adalah utusan Al-Husain bin Ali a.s. Beliau masih berada di suatu tempat saat aku kemari. Pergi dan sambutlah beliau!"
Berita ini segera sampai telinga Ibnu Ziyad yang lalu memerintahkan untuk melemparkan Qais dari atas atap istana. Qais lalu dijatuhkan dari atas istana dan tewas seketika sebagai syahid.
Berita kematian Qais sampai ke telinga Al-Husain a.s. Dengan air mata yang tak dapat dibendung lagi, beliau memanjatan doa.
"Ya Allah, berikanlah untuk kami dan para pengikut setia kami satu tempat mulia di sisi-Mu. Kumpulkan kami bersama mereka di tempat yang Engkau penuhi dengan rahmat-Mu. Engkau maha Kuasa atas segala sesuatu."
Menurut riwayat, beliau menulis surat tersebut di tempat yang bernama Hajiz[94]. Adapula riwayat yang mengatakan tempat lainnya.
Al-Husain a.s. kembali melanjutkan perjalanannya. Sesampainya beliau di satu daerah dekat Kufah, beliau dihadang oleh Hurr bin Yazid Al-Riyahi[95] yang memimpin seribu orang pasukan berkuda.
Al-Husain a.s. menyapa, "Kalian pengikutku atau musuhku ?"
Hurr menjawab, "Musuhmu, ya Abu Abdillah"
"La haula wala quwwata illa billahil 'Aliyyil 'Adzim," desah Al-Husain a.s.
Mereka berdua terlibat dalam satu pembicaraan serius. Sampai kemudian Al-Husain a.s. berkata, "Jika kenyataan yang ada pada kalian berlainan dengan apa yang tertulis dalam surat-surat kalian dan apa yang disampaikan oleh utusan kalian kepadaku, biarkan aku kembali lagi ke asalku."
Hurr dan pasukannya tidak memberikan izin kepada beliau. Katanya, " Tidak. Anda tidak akan kuperkenankan untuk kembali. Tapi aku punya saran untukmu, wahai putra Rasulullah. Ambillah jalan yang tidak membawa anda menuju Kufah dan tidak membawa anda kembali ke Madinah. Dengan begitu aku ada alasan kepada Ibnu Ziyad dengan mengatakan kepadanya bahwa kita tidak pernah bertemu."
Al-Husain a.s. menerima saran tersebut dan bergerak sampai ke 'Adzibu Al-Hajanat[96]. Tiba-tiba Hurr mendapat surat dari Ubaidillah bin Ziyad yang mengecamnya karena dianggap terlalu memberi kemudahan kepada Al-Husain a.s. dan memerintahkannya untuk mempersempit ruang gerak Al-Husain a.s.
Hurr dan pasukannya segera menghadang gerak laju perjalanan rombongan Al-Husain a.s. dan mencegah beliau untuk meneruskannya. Kepada Hurr Al-Husain a.s. bertanya, "Bukankah engkau tadi yang menyuruh kami untuk keluar dari jalan yang menuju Kufah ?"
"Ya, benar," jawab Hurr. "Tapi tuan gubernur, Ubaidillah bin Ziyad, melalui suratnya yang baru saja sampai kepadaku memerintahkan untuk mempersulit ruang gerak anda. Selain itu, dia juga telah mengirimkan mata-matanya untuk mengawasiku dalam menjalankan perintahnya itu."
Lantas Al-Husain a.s. berdiri di hadapan para sahabat setianya. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT dan menyampaikan salawat atas kakeknya, beliau berkata,"Kalian semua telah mengetahui apa yang tengah kita hadapi. Kini dunia telah berubah. Kebaikan telah pergi, sehingga dunia tak ubahnya bagai barang yang pecah berkeping-keping. Tak ada yang tersisa kecuali beberapa tetes sebanyak air yang tersisa dalam bejana. Sisa kehidupan yang hina ini bagai rumput yang jelek dan kering. Tidakkah kalian saksikan bahwa kebenaran telah ditinggalkan dan kebatilan tidak lagi dilarang. Kini saatnya seorang insan Mukmin berharap untuk segera bertemu Tuhannya dengan membawa kebenaran besamanya. Aku melihat kematian bagai suatu kebahagiaan dan hidup bersama orang-orang zalim bagai suatu kehinaan yang membosankan."
Zuhair bin Al-Qain bangkit dan berkata, "Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada kami semua dengan perantara anda, wahai putra Rasulullah. Kami telah mendengar apa yang anda katakan tadi. Seandainya dunia kami ini abadi dan kami semua akan tinggal kekal di dalamnya, kami lebih memilih berperang bersamamu daripada hidup di dunia."
Hilal bin Nafi' Al-Bajli[97] melompat dan berseru, "Demi Allah, kami tidak akan pernah ragu untuk bertemu dengan Tuhan kami, selagi kami memiliki niat yang luhur dan iman yang mantap dengan mencintai orang yang mengikutimu dan memusuhi orang yang memerangimu."
Burair bin Hushain[98] tak mau kalah. Katanya, "Wahai putra Rasulullah! Demi Allah, ini adalah anugerah yang Allah berikan kepada kami, bahwa kami dapat berperang bersamamu dan mempersembahkan raga ini untuk dicincang. Kemudian di hari kiamat kakek anda akan memberikan syafaatnya kepada kami."
Al-Husain a.s. bangkit dan naik ke atas kudanya. Pasukan Hurr menggiring beliau dan rombongan sampai ke suatu padang yang bernama Karbala. Peristiwa ini terjadi pada hari kedua bulan Muharram. Ketika sampai di situ beliau bertanya, "Apa nama tempat ini ?" Terdengar jawaban yang mengatakan "Karbala."[99]
Saat itulah Al-Husain a.s. berkata kepada rombongannya, "Turunlah kalian semua ! Di sinilah kita harus berhenti. Inilah tempat kita akan dibantai. Demi Allah, tempat inilah yang menjadi kuburan kita. Demi Allah, dari sinilah keluarga kita akan diseret sebagai tawanan. Hal inilah yang pernah dikatakan oleh kakekku Rasulullah saw. kepadaku."
Mereka semua turun dari tunggangan masing-masing dan mendirikan kemah. Hurr dan pasukan berada di tempat lain yang tidak jauh dari sana.
Al-Husain a.s. duduk sambil mengasah pedangnya dan bersenandung:
"Wahai masa! Kau bukanlah kawan sejati
Kau hanya berputar antara pagi dan sore hari
Antara orang pencari, kawan, dan yang dibantai
Masa! Kau tak pernah puas dengan pengganti
Semua urusan hanya ada di tangan Ilahi
Semua yang hidup pasti akan mati
Alangkah dekatnya waktuku untuk segera pergi
Ke surga, tempat istirahatku yang abadi"[100]
Zainab putri Fatimah a.s.[101] yang mendengar senandung abangnya itu, dengan tangis tertahan ia berkata, 
"Abangku, ini adalah kata-kata orang yang sudah yakin akan segera mati terbunuh."
"Ya, memang demikian, adikku,"jawab Al-Husain a.s. lirih.
Zainab histeris, "Oh, dengarlah Al-Husain tengah memberitahu kematiannya kepadaku."
Mendengar itu, para wanita rombongan keluarga suci Nabi saw. itu, langsung larut dalam tangisan. Tangan-tangan mereka memukuli pipi dan menarik-narik baju mereka sendiri.
"Ya Muhammad! Ya Ali! Ibuu! Ya Fatimah! Ya Hasan! Ya Husain! Alangkah malangnya nasibku ini jika kau tinggal pergi wahai Abu Abdillah," jerit Ummu Kultsum[102] histeris.
Al-Husain a.s. segera menghiburnya, "Adikku! bersedihlah dengan ketentuan dari Allah ! Seluruh mahluk penghuni langit pasti akan mati. Mahluk di bumi ini pun tak ada yang kekal. Semuanya pasti akan binasa." 
"Adik-adikku, kau Ummu Kultsum, Zainab, Ruqayyah[103], Fatimah[104], dan kau Rubab[105], camkan kata-kataku! Jika aku terbunuh nanti, jangan sekali-kali kalian kalian robek pakaian kalian sendiri! Jangan pula kalian memukuli wajah atau berkata yang tidak semestinya!" kata beliau lagi.
Menurut riwayat yang lain, Zainab - yang saat itu bersama para wanita anggota rombongan sedang berada di tempat lain tak jauh dari Al-Husain a.s. - ketika mendengar bait-bait yang didendangkan oleh Al-Husain a.s. tersebut segera keluar dengan seribu perasaan duka sambil menari-narik bajunya. Setelah sampai di hadapan Al-Husain a.s., dia berkata, "Oh malangnya nasib ini. Andai saja maut datang mengakhiri hidupku! Oh, ini adalah hari kematian ibuku Fatimah, ayahku Ali, dan kakakku Al-Hasan Al-Zaki, wahai pusaka mereka yang telah pergi dan pemimpin umat ini."
Al-Husain a.s. memandang adiknya dan berkata, "Adikku, jangan sampai kesabaranmu hilang !"
Zainab bertanya, "Demi ayah dan ibuku, apakah engkau akan segera meninggalkan kami dan mati terbunuh?"
Al-Husain a.s. dengan kesedihan yang tampak jelas di raut wajahnya dan mata yang berkaca-kaca, mengatakan, "Jika burung buruan ditinggalkan oleh pemburunya, ia akan dapat tidur dengan nyenyak." 
(Maksudnya adalah pasukan yang berada di hadapan kita ini datang untuk membunuhku dan tak akan meninggalkanku untuk dapat tenang. Pent)
Zainab kembali bertanya, "Apakah engkau akan mereka cincang dan lucuti? Jika memang demikian, hatiku ini akan bertambah perih menyaksikannya." 
Lalu Zainab menarik-narik bajunya hingga jatuh pingsan.
Al-Husain a.s. menyiramkan sedikit air ke wajahnya hingga kembali sadar. Beliau kemudian menghiburnya dengan berkata bahwa apa yang beliau lakukan ini adalah demi kebenaran dan mengingatkan adiknya itu akan musibah yang telah menimpa ayah dan kakek mereka saw.
Salah satu hal yang menyebabkan Al-Husain a.s. menyertakan keluarga beliau dalam perjalanan yang penuh dengan duka ini adalah, jika mereka ditinggalkan di Hijaz atau negeri manapun saja, Yazid bin Mu'awiyah dapat dengan mudah memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap dan membawa mereka ke hadapannya. Dan dia akan melakukan tindakan sekeji apa saja untuk memaksa Al-Husain a.s. mengurungkan niatnya untuk berjihad dan meraih syahadah. Tindakan Yazid bin Mu'awiyah dengan menangkap dan menyandera mereka dapat menghalangi beliau untuk dapat mencapai kebahagian hakiki.
________________________________________
[1] Lubabah binti Al-Harits Al-Hilaliyyah, masyhur dengan sebutan Ummul Fadhll, istri Abbas bin Abdul Mutthalib, melahirkan tujuh anak Abba.s. Beliau masuk Islam di Mekah setelah Khadijah. Rasulullah Saw. sering mengunjunginya dan beristirahat di rumahnya. Beliau wafat kira-kira pada tahun 30 H.
(Rujuk, Al-Ishabah, biografi No. 942 dan 1448, Dzailu Al-Mudzil hal. 84, Al-Jam' Baina Rijali Al-Shahihain hal. 612, dan Al-A'lam 5 hal. 239).
[2] Abba.s. bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf, dengar kunyah Abul Fadhll, adalah salah seorang pembesar Quraisy baik di masa Jahiliyyah maupun di masa Islam. Beliau orang baik di kalangan kaumnya dan memiliki ide-ide cemerlang. Tugas memberi minum jamaah haji dan menyemarakkan Ma.s.jidil Haram ada di pundaknya. Beliau masuk Islam sebelum hijrah Nabi saw., tapi menyimpan keislamannya. Di akhir hayatnya mata beliau buta. Wafat di Madinah tahun 32 H.
(Rujuk Shifatu Al-Shafwah 1 hal. 203, Al-Mihbar: 63, Dzailu Al-Mudzil hal.10 dan Al-A'lam 3 hal. 262).
[3] Dalam naskah A disebutkan: "Ketika beliau lahir, Jibril bersama dengan seribu malaikat turun untuk mengucapkan selamat kepada Nabi saw. Lalu Fatimah a.s. datang kepada beliau dengan membawa bayi tersebut. Nabi sangat bersuka cita karenanya dan memberinya nama Al-Husain.
Dalam Al-Thabaqat disebutkan bahwa Ibnu Abbas berkata: "Saya mendengar dari Abdullah bin Bakr bin Habib Al-Sahmi dari Hatim bin Shan'ah bahwa Ummul Fadhll berkata …
[4] Dalam naskah berinisial R yang ada di perpustakaan Ridlawiyyah di Masyhad yang ditulis tahun 1117 H tidak terdapat kalimat "Lalu di letakkan".
[5] Sabda Nabi Saw. "Mereka tidak akan mendapatkan syafa'atku di hari kiamat" tidak terdapat dalam naskah R.
[6] "dengan air mata yang luruh" tidak terdapat dalam naskah.R
[7] Karbala, nama daerah di mana Al-Husain a.s. dibantai, dan berada di ujung daratan dekat kota Kufah.
Diriwayatkan bahwa beliau a.s. telah membeli daerah sekitar tempat beliau akan dimakamkan, dari penduduk Nainawa (Nama lain Karbala) dan Ghadhiriyyah dengan harga enam puluh ribu dirham dan bersedekah dengan uang itu kepada mereka dengan syarat bahwa mereka harus menjadi petunjuk bagi peziarah yang ingin berziarah ke makam beliau, dan menjamunya selama tiga hari seperti layaknya tamu mereka sendiri.
( Rujuk, Mu'jamu Al-Buldan 4 hal. 249 dan Majma'u Al-Bahrain 5 hal. 641-642).
[8] Mu'awiyah bin Abi Sufyan Shakr bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdu Manaf, pendiri dina.s.ti Bani Umayyah di Syam. Lahir di Mekah dan ma.s.uk Islam pada hari penaklukan kota tersebut (Fathu Mekah). Dia mendapat kepercayaan untuk memimpin satu pa.s.ukan di bawah komando saudaranya, Yazid, pada masa khilafah Abu Bakar. Pernah menjabat sebagai gubernur Yordania pada masa Umar, lalu menjadi gubernur Syam. Pada waktu Utsman naik ke kursi khilafah, seluruh negeri Syam berada di bawah kekua.s.aannya. Setelah Utsman terbunuh dan Ali a.s. naik menjadi khalifah, beliau mengirimkan utusannya dan memecat Mu'awiyah dari jabatannya tersebut. Tetapi sebelum utusan itu sampai di Syam, Mu'awiyah yang lebih dahulu mendengar berita ini, langsung mengumumkan bala.s. dendam atas darah Utsman dan menuduh Ali a.s. sebagai dalang yang berada di balik pembunuhan khalifah. Maka berkobarlah peperangan yang sengit antara kedua belah pihak. Mu'awiyah yang hampir kalah, menggunakan taktik yang licik untuk menghindari kekalahan yang sudah di depan mata itu. Meninggal di Damaskus pada tahun 60 H, setelah sebelumnya mengangkat anaknya yang bernama Yazid, sebagai penggantinya.
( Rujuk, Tarikh Ibnu Atsir 4 hal. 2, Tarikh Thabari 6 hal. 180, Al-Bad'u wa Al-Tarikh 6 hal. 5 dan Al-A'lam 7 hal. 261-262 ). 
[9] Yazid bin Mu'awiyah bin Abi Sufyan Al-Umawy, khalifah kedua dinasti Bani Umayyah di Syam. Lahir di Mathrun dan dibesarkan di Damaskus. Diangkat sebagai khalifah setelah ayahnya meninggal pada tahun 60 H. Sebagian kaum muslimin tidak bersedia untuk berbaiat kepadanya. Al-Husain bin Ali a.s. adalah salah seorang tokoh yang menonjol dari kelompok ini. Mereka tidak mau berbaiat karena mereka melihat bahwa Yazid adalah orang fasik yang bergelimang dosa dan gemar hiburan. Penduduk Madinah menunjukkan pembangkangan mereka padanya tahun 63 H. Karena itulah, ia mengirimkan bala tentaranya yang dipimpin oleh Muslim bin Uqbah dan memerintahkan untuk menghalalkan kota Madinah selama tiga hari lalu mengambil baiat penduduk Madinah dengan paksa atas nama budak Yazid. Muslim melakukan segala macam kebiadaban dan membantai banyak orang shaleh dari kalangan sahabat dan tabi'in. Yazid meninggal pada tahun 64 H. 
( Rujuk, Tarikh Thabari peristiwa tahun 64 H, Tarikh Al-Khamis 2 hal. 300, Tarikh Ibnu Atsir 4 hal. 49, Jamharatu Al-Ansab hal. 103 dan Al-A'lam 8 hal. 189 ).
[10]Walid bin Uthbah bin Abi Sufyan Al-Umawy, salah seorang pembesar Bani Umayyah. Pernah menjabat sebagai gubernur Madinah di masa Mu'awiyah. Setelah kematian Mu'awiyah, Yazid memerintahkannya untuk mengambil baiat ahli Madinah untuknya. Dimutasi oleh Yazid dari jabatannya itu untuk menjadi penasehat pribadinya di Dama.s.kus. Pada tahun 61 H, kembali menjabat sebagai gubernur Madinah. Pada saat terjadinya pemberontakan Abdullah bin Zubair, ia sedang berada di Mekah. Tinggal di Madinah sampai akhir hayatnya dan meninggal karena terserang wabah ( Tha'un ). Pernah menjadi pimpinan jamaah haji pada tahun 62 H.
( Rujuk, Mir'atu Al-Janan 1 hal. 140, Na.s.abu Quraisy hal. 133 dan 433 dan Al-'A'lam 8 hal. 121 ). 
[11] Madinah, kota Rasulullah saw. yang dulu bernama Yatsrib. Luas kota ini setengah luas kota Mekah. Termasuk kota yang subur dengan banyak tanaman korma di dalamnya. Masjid Nabawi berada di tengah-tengah kota ini dan pusara suci Rasulullah Saw. berada di sebelah timur masjid. Kota Madinah mempunyai banyak nama lain seperti, Thayyibah, Yatsrib dan Mubarakah.
[12] Abu Abdil Malik Marwan bin Hakam bin Abdul 'A.s.h bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf, salahseorang khalifah dina.s.ti dani Umayyah. Dia adalah orang pertama dari Bani Hakam yang berkuasa. Bani Marwan adalah keturunannya. Merekalah yang kemudian memegang kendali pemerintahan dengan nama Daulah Marwaniyyah. Marwan lahir di Mekah, dibesarkan di Thaif dan tinggal di Madinah. Utsman mengangkatnya sebagai orang khusus dalam pemerintahannya dan menjadikannya sebagai sekretaris pribadi khalifah. Setelah Utsman terbunuh, Marwan pergi ke Bashrah untuk ikut serta dalam pasukan Jamal yang dipimpin oleh Aisyah. Kemudian ia ikut dalam perang Shiffin bersama Mua'wiyah. Menjabat sebagai gubernur Madinah di masa Mu'awiyah. Abdullah bin Zubair mengusirnya dari kota suci tersebut dan untuk selanjutnya, ia menetap di Syam. Meninggal pada tahun 65 H, karena wabah penyakit Tha'un. Menurut riwayat lain ia dibunuh oleh istrinya sendiri, Ummu Khalid.
( Rujuk, Usdu Al-Ghabah 4 hal. 348, Tarikh Ibnu Atsir 4 hal. 74, Tarikh Thabari 7 hal. 34 dan Al-A'lam 7 hal. 207 ).
[13] Di Na.s.kah dengan A terdapat pembaha.s.an yang cukup panjang yang tidak terdapat dalam na.s.kah R dan B ( Na.s.kah yang dinukil oleh Allamh Majlisi dalam kitabnya Biharu Al-Anwar ). Kemungkinan pembaha.s.an itu adalah catatan penulis sendiri. Bagaimanapun juga, ada baik kami sebutkan apa yang ada dalam na.s.kah A tersebut:
Ali bin Musa bin Ja'far bin Muhammad bin Thawus, penulis kitab ini, berkata,: Satu hal yang kami yakini kebenarannya adalah bahwa Imam Husein a.s.. telah mengetahui apa yang akan menimpa dirinya. Sedangkan apa yang beliau lakukan itu adalah tuga.s. yang beliau emban.
Sebagian orang yang namanya telah disebutkan dalam kitab "Ghiyatsu Sulthani Al-Wara li Sukkani Al-Tsara" memberitahuku dengan sanad mereka yang tersambung sampai ke Abu Ja'far Muhammad bin Babuwaih, seperti yang beliau sebutkan dalam kitabnya "Al-Amali" dengan sanadnya dari MuFadhlhdhal bin Umar dari Imam Ja'far Shadiq a.s., dari ayahnya, dari kakeknya a.s., beliau berkata, " Suatu hari Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib a.s. datang menemui abangnya, Imam Hasan a.s.. Ketika pandangan beliau jatuh ke wajah sang kakak, tiba-tiba beliau menangis. Imam Hasan pun bertanya, "Apa yang membuatmu menangis ?"
Beliau menjawab," Aku menangisi apa yang akan engkau alami." 
Imam Hasan a.s. menyahut, "Apa yang akan kualami hanyalah racun yang dibubuhkan ke dalam minumanku yang akan membunuhku. Tapi tiada hari seperti hari yang akan kau alami, wahai Abu Abdillah. Engkau akan dihadang oleh tiga puluh ribu orang tentara yang mengaku sebagai umat kakek kita, Muhammad saw. dan beragama Islam. Mereka akan bahu membahu untuk membunuhmu, menginjak-injak kehormatanmu, menawan anak istrimu dan merampa.s. hartamu. Saat itulah kutukan Allah turun ata.s. Bani Umayyah dan langit akan menitikkan hujan darah dan abu. Seluruh mahluk sampai binatang buas dan ikan dalam lautpun akan larut dalam tangisan".
Mereka yang saya sebutkan di atas, juga membawakan sebuah riwayat kepadaku dengan sanad mereka dari Umar Nassabah ( Ahli Na.s.ab ) seperti yang beliau sebutkan di bagian akhir kitab "Al-Syafi fi Al-Nasab" dengan sanadnya dari kakek beliau Muhammad bin Umar, beliau berkata, " Saya mendengar dari ayah saya, Umar bin Ali bin Abi Thalib a.s., ketika berbicara dengan paman-pamanku dari pihak ibu, keluarga Aqil, mengatakan, "Ketika abangku Al-Husain a.s. yang saat itu tengah berada di Madinah menolak untuk berbaiat kepada Yazid, aku datang menemuinya. Beliau waktu itu sedang sendirian. Kukatakan padanya, "Jiwaku menjadi tebusanmu, wahai Abu Abdillah. Saudaramu Abu Muhammad Al-Hasan memberitahuku bahwa ayah kita …" Saat itu air mata telah lebih dahulu membasahi pipiku dan menyesakkan dadaku. 
Al-Husain lalu memelukku seraya bertanya," Apakah Al-Hasan a.s. memberitahumu bahwa aku akan mati terbunuh?" 
Aku menjawab,"Aku sangat kuatir, wahai putra Rasulullah." 
Al-Husain a.s. kembali bertanya, "Aku bertanya kepadamu, demi ayahmu, apakah beliau memberitahumu bahwa aku akan terbunuh ?"
"Ya. Karena itu, apakah tidak sebaiknya anda berbaiat ?"
Ketika itulah beliau mengatakan, "Ayahku pernah memberitahuku bahwa Rasulullah saw. telah memberi kabar terbunuhnya beliau dan aku. Rasulullah juga memberitahukan bahwa makamku akan berada di dekat makam beliau. Kau kira kau telah mengetahui sesuatu yang tidak aku ketahui ? Ingatlah bahwa aku tidak akan sudi untuk menjadi hina. Kelak Fatimah, ibuku, akan menemui ayahandanya untuk mengadukan segala yang telah dilakukan umat terhadap keturunannya. Orang yang telah menyakitinya dengan jalan menyakiti keturunannya, tidak akan masuk surga."
Penulis mengatakan, "Sebagian orang yang tidak mengetahui hakikat kemuliaan orang yang mati syahid saat menuju kebahagiaan abadi, akan beranggapan bahwa Allah SWT tidak akan menyuruh hambaNya untuk melakukan tugas seperti ini. Dalam menjawab, kita katakan, apakah anda tidak pernah mendengar ayat Al-Quran yang maha benar yang mengatakan bahwa Allah SWT pernah memerintahkan satu kaum untuk membunuh diri mereka sendiri. Allah SWT berfirman: 

فتوبوا إلى بارئكم فاقتلوا أنفسكم ذلكم خير لكم عند بارئكم 
"Bertobatlah kalian kepada Tuhan kalian dan bunuhlah diri kalian. Hal itulah yang terbaik di sisi Tuhan kalian." ( Q.S. 
Al-Baqarah: 54 )
Mungkin mereka mengira bahwa maksud dari ayat:
ولا تلقوا بأيديكم الي التهلكه
"Janganlah kalian menjerumuskan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan " ( Q.S. Al-Baqarah: 195 ).
adalah mati terbunuh . Padahal maksud ayat tersebut bukanlah demikian. Bahkan beribadah dengan mengorbankan jiwa dan raga merupakan puncak tertinggi dari kebahagian ukhrawi.
Penulis kitab "Al-Maqtal" menyebutkan sebuah riwayat dari Imam Ja'far Shadiq a.s. mengenai tafsiran ayat di atas yang lebih logis. Beliau meriwayatkan dari Aslam, dia berkata, " Dalam perang Nahawand -atau peperangan lainnya-, ketika kedua pasukan saling berhadapan dengan barisan panjang yang belum pernah saya saksikan sebelumya, sedang tentara Rumawi telah merapatkan punggung mereka di tembok kota mereka, tiba-tiba seseorang keluar dari barisan kami dan maju menembus barisan musuh.
Saat itu terdengar orang-orang berkata, "Laailaha illallah." Dia jerumuskan dirinya ke dalam kebina.s.aan. Abu Ayyub Al-Anshari yang ada di situ segera menuka.s. perkataan mereka, "Jangan sembarangan menafsirkan ayat ini. Orang tadi itu hanya mencari syahadah. Takwil kalian itu keliru. Ayat ini turun pada kami yang setelah sibuk berjuang membela Rasulullah saw. dengan meninggalkan harta benda dan keluarga, berniat untuk tinggal dan mengurusi harta benda kami yang telah rusak atau musnah karena kami tinggalkan. Ketika itulah Allah SWT menegur kami atas niat kami untuk meninggalkan jihad, membela Nabi saw. itu. Lalu turunlah ayat: 
ولا تلقوا بأيديكم الي التهلكه
Jadi maksud ayat tersebut adalah, jika kalian lalai pada tuga.s. kalian dalam membela Rasulullah saw. dan memilih untuk tetap tinggal di rumah kalian, hal itu berarti kalian telah menjerumuskan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan. Karena itu, Allah murka pada kalian, dan itulah yang akan membina.s.akan kalian. Ayat ini turun untuk menegur kami atas apa yang kami katakan dan niatkan bahwa kami akan tinggal, juga mendorong kami untuk berjihad. Ayat ini bukannya turun atas mereka yang menyerang musuh dengan gagah berani untuk memberikan spirit kepada kawan-kawannya untuk melakukan hal yang sama atau untuk dapat mati syahid dalam jihad di jalan Allah agar dapat meraih pahala yang besar di akhirat kelak.
Penulis berkata, "Dalam muqaddimah kitab ini telah saya singgung masalah ini. Dan dalam pembahasan mendatang faktor-faktor tersebut akan kami paparkan lebih jelas lagi.
[14] Kota Mekah memiliki banyak nama lainnya seperti, Ummul Quro, Na.s.a.s.ah, Ummu Rahim dan Baitullah Al-Haram. Makk dalam bahasa Arab berarti penghancuran. Kota suci ini di namakan Mekah, karena kota ini menghancurkan segala dosa dan menghapusnya, atau menghancurkan dan membinasakan mereka yang hendak berbuat zalim padanya.
( Rujuk, Mu'jamu Al-Buldan 5 hal. 181-188, Majma'u Al-Bahrain 5 hal. 289 ).
[15] Abul Abba.s. Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutthalib Al-Hasyimi Al-Qurasyi terkenal dengan sebutan Habrul Ummah (Guru besar umat). Beliau adalah seorang sahabat terkemuka. Lahir di Mekah dan dibesarkan pada masa-masa awal Islam. Beliau dekat dengan Nabi saw. dan banyak meriwayatkan hadis beliau. Ikut serta dalam perang Jamal dan Shiffin dalam barisan Imam Ali a.s. Pada akhir hayatnya, beliau menjadi buta. Ibnu Abbas tinggal di Thaif dan wafat di sana pada tahun 68 H.
( Rujuk, Al-Ishabah biografi No. 4772, Shifatu Al-Shafwah 1 hal. 314, Hilayatu Al-Auliya' 1 hal. 314, Na.s.abu Quraisy hal. 26, Al-Mahbar hal. 98 dan Al-A'lam 4 hal. 95 ).
[16] Abu Bakar Abdullah bin Zubair bin Awwam Al-Asadi Al-Qurasyi, dibaiat sebagai khalifah pada thun 64 H, setelah kematian Yazid bin Mu'awiyah. Dia berhasil menguasai Mesir, Hijaz, Yaman, Khurasan, Irak dan sebagian Syam. Pusat pemerintahannya berada di kota Madinah. Terjadi beberapa kali peperangan sengit antara tentaranya dengan pasukan Bani Umayyah. Pada masa Abdul Malik bin Marwan, Hajjaj bin Yusuf Al-Tsaqafi menyerangnya. Ia kalah, sehingga harus lari ke kota Mekah. Hajjaj membuat kamp militernya di Thaif. Peperangan sengit antara tentara keduanya tak lagi dapat dielakkan. Dalam peperangan ini, Ibnu Zubair tewas setelah ditinggalkan oleh tentaranya sendiri. Peristiwa ini terjadi pada tahun 73 H. Masa khilafah Ibnu Zubair 9 tahun
( Rujuk, Tarikh Ibnu Atsir 4 hal. 135, Tarikh Thabari 7 hal. 202, Fawatu Al-Wafayat 1 hal. 210, Tarikhu Al-Khamis 2 hal. 301 dan Al-A'lam 4 hal. 87 ).
[17] Abu Abdur Rahman Abdullah bin Umar bin Khattab Al-'Adawi. Beliau buta di akhir hayatnya. Ibnu Umar merupakan sahabat terakhir yang meninggal dunia di kota suci Mekah. Lahir dan wafat di kota tersebut. Ulama berselisih pendapat tentang tahun wafatnya. 
( Rujuk, Al-Ishabah biografi No. 4825, Thabaqat Ibnu Sa'ad 4 hal. 105-138, Tahidzibu Al-A.s.ma' 1 hal. 278 dan Al-'A'lam 4 hal. 108 ).
[18] Kufah, adalah nama sebuah kota terkenal di negeri Babil di daratan Irak. Menurut sebagian orang kota ini diberi nama Kufah karena bentuknya yang bundar seperti lingkaran besar.
(Rujuk, Mu'jamu Al-Buldan 4 hal. 322 ).
[19] Abu Mutharraf Sulaiman bin Shurad bin Al-Jun bin Abi Al-Jaun Abdul 'Uzza bin Munqidz Al-Saluli Al-Khuza'i, seorang sahabat dan pembesar kaumnya. Ikut serta dalam perang Shiffin bersama Imam Ali a.s. Beliau tinggal di Kufah. Pemimpin gerakan orang-orang yang bertaubat (Tawwabun). Beliau syahid di tempat bernama 'Ainul Wardah, dibunuh oleh Yazid bin Al-Hushain.
( Rujuk, Al-Ishabah biografi No. 3450, Tarikhu Al-Islam 3 hal. 17 dan Al-A'lam 3 hal. 127 ).
[20] Musayyib bin Najbah bin Rabi'ah bin Riyah Al-Fazzari, salah seorang tabi'in dan orang terkemuka di kalangan kaumnya. Ikut serta dalam perang Qadisiyyah dan penaklukan Irak. Musayyib berada di belakang Imam Ali a.s. dalam semua peperangan beliau. Beliau bertempat tinggal di kota Kufah. Beliau juga ikut serta dan terlibat dalam gerakan tawwabun yang menuntut darah Al-Husain a.s. Syahid bersama Sulaiman bin Shurad di Irak pada tahun 65 H. Beliau adalah seorang pahlawan yang pemberani dan ta'at beribadah.
( Rujuk, Al-Ka mil fi Al-Tarikh 4 hal. 68-71, Al-Ishabah biografi No. 8424 dan Al-A'lam 7 hal. 225-226 ).
[20] Rufa'ah bin Syaddad Al-Bajli, seorang qari' dan pejuang yang gagah berani. Beliau adalah penduduk Kufah dan salah seorang pengikut Imam Ali a.s., yang terbunuh pada tahun 66 H.
( Rujuk, Al-Kamil fi Al-Tarikh peristiwa tahun 66 H dan Al-A'lam 3 hal. 29 ).

[22]Habib bin Madhahir -atau Mudhahhir, juga Muthahhir- bin Ri'ab bin A.s.ytar bin Hajwan Al-Asadi Al-Kindi Al-Faq'a.s.i, seorang tabi'in dan salah seorang pembesar yang gagah berani. Tinggal di Kufah. Beliau iktu menyertai Imam Ali a.s. dalam semua peperangan beliau. Beliau juga ikut bersama Imam Husein a.s. dalam perjalanannya ke Karbala, padahal ketika itu beliau telah berusia 75 tahun. Habib telah berusaha untuk mengajak orang-orang Bani Asad untuk ikut serta membela cucu Rasulullah saw. itu. Tapi sebelum mereka sampai di Karbala, pasukan kiriman Bani Umayyah telah menghadang mereka. Imam Husein sangat menghormati pribadi agung ini. Beliau termasuk salah seorang tokoh terkemuka kota Kufah. Ketika beliau syahid, Imam Husein a.s. berkata, "Habis sudah aku dan tamatlah riwayat penjaga para sahabatku." Beliau syahid di tangan Badil bin Sharim Al-Ghafqani.
( Rujuk, Tarikh Thabari 5 hal. 352-440, Rijalu Al-Syekh hal. 72, Ta.s.miatu man Qutila ma'a Al-Husain hal. 152, Lisanu Al-Mizan 2 hal. 173, Al-Kamil fi Al-Tarikh peristiwa tahun 61 H, Al-A'lam 2 hal. 166 dan Ansharu Al-Husain hal. 81-82 ).
[23] Menurut kami nama beliau yang benar adalah Abdullah bin Waal Al-Tamimi, seperti yang disebutkan oleh Syekh dalam kitab "Rijal" nya hal. 55 dalam urutan sahabat-sahabat Imam Ali a.s. Dalam kitab tersebut, nama beliau dicantumkan setelah nama Qanbar dan digabungkan dengannya. Jela.s. bahwa ini suatu kekeliruan. Dan dalam na.s.kah tulisan tangan kitab "Rijal Syekh" nama beliau disebutkan beberapa urutan sebelum nama Qanbar. Nama beliau juga tercantum dalam Syarh Nahju Al-Balaghah 3 hal. 132 dan di beberapa tempat lain kitab itu.
[24] Abu Abdillah Nu'man bin Basyir bin Sa'ad bin Tsa'labah Al-Khazraji Al-Anshari, adalah gubernur Madinah dan penyair kota tersebut. Nailah, istri Utsman, mengirimnya ke Mu'awiyah dengan membawa baju Utsman. Lalu dia menetap di Syam dan ikut serta dalam perang Shiffin di barisan Mu'awiyah. Pernah menjabat sebagai hakim kota Damaskus dan setelah itu menjadi gubernur Yaman dari pihak Mu'awiyah. Kemudian Mu'awiyah memindahkannya ke Kufah. Setelah ia dibebastuga.s.kan dari jabatannya tersebut, ia menjabat sebagai gubernur Himash sampai Yazid meninggal dunia. Ketika Abdullah bin Zubair mengumumkan khilafah dirinya, Nu'man berbaiat kepadanya. Saat penduduk Himash memberontak, Nu'man lari meninggalkan kota tersebut. Tapi Khalid bin Khulay mengikutinya dan berhasil membunuhnya, pada tahun 65 H.
( Rujuk, Jamharatu Al-Ansab hal. 345, Usdu Al-Ghabah 5 hal. 22, Al-Ishabah biografi No. 8730 dan Al-A'lam 8 hal. 36 ).
[25] Syam atau Sya'm kata jamak dari Syamah. Kawasan ini dinamakan Syam karena desa-desanya yang banyak dan saling berdekatan. Daerah ini membentang dari sungai Furat sampai daerah yang bersambung dengan negeri Mesir. Sedangkan lebarnya dimulai dari dua gunung Thayyi' dari arah kiblat sampai laut Romawi. Di antara kota-kota besar kawasan ini terdapat nama, Halab, Manbaj, Humat, Himash, Damaskus, Baitul Maqdis dan Ma'arrah. Sedangkan daerah pesisirnya adalah Antakia, Tripoli dan lain-lain. 
( Rujuk, Mu'jamu Al-Buldan 3 hal. 311-315 ).
[26] Dalam naskah R disebutkan bahwa beliau adalah Sa'id Al-Nakha'i. Di banyak kitab standar dan dalam doa ziarah disebutkan bahwa nama beliau adalah Sa'ad.
Beliau dari kelompok Bani Hanifah bin Lujaim dari kabilah Bakr bin Wa'il. Beliau terma.s.uk salah seorang yang menjadi utusan penduduk Kufah yang membawa surat mereka untuk Al-Husain a.s. dan seorang revolusioner yang penuh semangat. 
( Rujuk, Tarikh Thabari 5 hal. 419 dan 353, Maqtalu Al-Husain tulisan Khawarizmi 1 hal. 195 dan 2 hal. 20, Al-Manaqib 4 hal. 103, Al-Bihar 45 hal. 21,26 dan 70, Ta.s.miatu man Qutila ma'a Al-Husain hal. 154 dan Ansharu Al-Husain hal. 90-91 ).
[28] Abu Abdil Quddus Syabats bin Rab'i Al-Tamimi Al-Yarbu'I, seorang pembesar Bani Mudhar dan penduduk Kufah di zamannya. Mengalami ma.s.a kenabian. Ikut bergabung dengan Sajah, wanita yang mengaku nabi, lalu kembali ke Islam. Terma.s.uk salah seorang yang memberontak pada Utsman. Ikut serta dalam pembantaian terhadap Imam Husein a.s.. setelah menulis surat kepada beliau dan meminta agar beliau mau datang ke Kufah. Meninggal dunia pada tahun 70 H. 
Diriwayatkan bahwa ketika Syabats tertangkap, Ibrahim, salah seorang komandan pa.s.ukan Mukhtar, bertanya kepadanya, "Ceritakan padaku apa saja yang kau lakukan pada hari Thaf ('A.s.yura' tahun 61 H)?" Ia menjawab, "Aku memukul wajah Al-Husain yang mulia dengan pedangku." Ibrahim membentaknya, "Celakalah engkau, hai orang terkutuk ! Kau tidak takut pada Allah SWT dan kakeknya, Rasulullah?" Lalu ia menyayat-nyayat paha Syabats hingga tewas secara mengenaskan.
( Rujuk Al-Ishabah biografi No. 3950, Tahdzibu Al-Tahdzib 4 hal. 303, Mizanu Al-I'tidal 1 hal. 440 dan Al-A'lam 3 hal. 154 ).
[29] Hajjar (Hijar) bin Abjur Al-Kufi. Disebutkan bahwa dia meriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali a.s., dan Sammak bin Harb meriwayatkan darinya. ( Al-Rijalu fi Taji Al-'Arus 2 hal. 25 ).
[30] Dalam naskah memang demikian disebutkan. Mungkin terjadi kekeliruan. Yang benar adalah Yazid bin Harits bin Ruwaim, bukan Yazid bin Harits dan Yazid dan Yazid bin Ruwaim.
Yazid bin Harits bin Ruwaim SyaiBani, hidup semasa dengan Nabi SAW.. Ia masuk Islam di tangan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. Ikut dalam perang Yamamah. Tinggal di Ba.s.hrah dan tewas dibunuh pada tahun 68 H di kota Rey.
Sebagian kitab menyebutkan nama Yazid bin Ruwaim langsung dinisbatkan ke kakeknya, padahal ulama bersepakat bahwa dia adalah Yazid bin Harits bin Ruwaim.
( Rujuk, Al-Kamil 4 hal. 111, Al-Ishabah biografi No. 9398, Tahdzibu Al-Tahdzib 8 hal. 163, Jamharatu Al-Ansab hal. 305 dan Al-A'lam 8 hal. 180-181 ). 
[31] Mungkin nama yang benar adalah Azrah bin Qais. 
( Rujuk, Tarikh Thabari 5 hal. 353, Ansabu Al-A.s.yraf 3 hal. 158).
[32] Na.s.kah R: Umar bin Hajjaj.
Dalam kitab Al-Irsyad karya Sykh Mufid hal. 38 Amr bin Hajjaj Al-Zubaidi.
[33] Muhammad bin Umair bin 'Atharid bin Hajib bin Zurarah Al-Tamimi Al-Darimi, seorang penduduk Kufah. Banyak kasus yang terjadi antara dia dan para pembesar Kufah. Termasuk salah seorang pemimpin pasukan Imam Ali a.s. di perang Shiffin, dan wafat tahun kira-kira tahun 85 H.
( Rujuk, Al-Mihbar hal. 154, 338 dan 339, Lisanu Al-Mizan 5 hal. 330 dan Al-A'lam 6 hal. 319 ).
[34] Muslim bin Aqil bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, seorang tabi'in yang memiliki pandangan dan pengetahuan yang lua.s. serta keberanian yang kesohor. Ibunda beliau adalah seorang hamba sahaya yang dibeli oleh Aqil di Syam. Al-Husain a.s. mengutus Muslim ke kota Kufah untuk mengambil baiat penduduk kota Kufah. Muslimpun berangkat meninggalkan kota Mekah pada pertengahan bulan Ramadan tahun 60 H dan sampai di kota Kufah pada hari keenam bulan Syawal. Beliau adalah orang pertama dari sahabat setia Imam Husein a.s. yang mati syahid.
( Rujuk, Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 80, Al-Thabaqat Al-Kubro 4 hal. 29, Ta.s.miatu man Qutila ma'a Al-Husain hal. 151, Al-Kamil fi Al-Tarikh 4 hal. 8-15, Al-Akhbaru Al-Thiwal hal. 233, Tarikhu Al-Kufah hal. 59, Al-A'lam 7 hal. 222, Ansharu Al-Husain hal. 124 dan Dhiya'u Al-'Ainain hal. 13-29 ).
[35] Abu Ishaq Mukhtar bin Abi Ubaidah bin Mas'ud Al-Tsaqafi, salah seorang pemimpin pemberontakan terhadap Bani Umayah. Beliau berasal dari Thaif dan pindah ke Madinah bersama ayahnya. Di Madinah, Mukhtar dekat dengan Bani Hasyim dan mencintai mereka. Abdullah bin Umar bin Khattab memperistri saudara perempuan Mukhtar yang bernama Shafiyyah. Ketika Imam Ali a.s. berada di Irak, Mukhtar dengan setia menyertai beliau. Setelah Imam Ali wafat, ia memilih untuk tinggal di Bashrah. Ubaidillah bin Ziyad menangkap dan menjebloskannya ke dalam penjara, lalu menga.s.ingkannya ke Thaif dengan perantara Ibnu Umar. Setelah kematian Yazid, Mukhtar bertolak menuju Kufah untuk menuntut bala.s. kematian Al-Husain a.s. dari para pembunuhnya. Beliau berhasil menguasai Kufah dan Maushil, mengejar dan menumpas habis para durjana pembunuh Al-Husain a.s.. Beliau tewas di tangan Mus'ab bin Zubair setelah terjadi peperangan antara keduanya pada tahun 67 H.
( Rujuk, Al-Ishabah biografi No.: 8547, Al-Farqu Baina Al-FIrak hal. 31-37, Al-Kamil fi Al-Tarikh 7 hal. 146 dan Al-A'lam 7 hal. 192 ).
[36] Nama ini tidak disebutkan oleh para perawi.
[37] Nama ini juga tidak disebutkan oleh para perawi.
[38] Umar bin Sa'ad bin Abi Waqqash Al-Zuhri Al-Madani. Dialah yang dikirim oleh Ubaidillah bin Ziyad dengan empat ribu orang tentara untuk menyerbu Dailam, dengan menjanjikannya kekuasaan atas wilayah Rey. Tapi sewaktu berita keberangkatan Al-Husain a.s. dari Mekah menuju Kufah sampai ke telinga Ibnu Ziyad, ia segera mengirimkan sepucuk surat padanya dan memerintahkannya untuk segera kembali bersama pasukannya. Umarpun kembali. Ibnu Ziyad lalu memerintahkannya untuk membantai Al-Husain a.s. Umar menolak. Ibnu Ziyad mengancam dan mengingatkannya akan kota Rey. Akhirnya ia bersedia menerima tugas tersebut. Ketika Mukhtar bangkit melakukan pemberontakan, beliau mengutus orang untuk memburu dan membunuh Umar bin Sa'ad dan tamatlah riwayatnya.
(Rujuk, Al-Thabaqat 5 hal.125, Al-Kamil fi Al-Tarikh 4 hal. 21 dan Al-A'lam 5 hal. 47).
[39] Ubaidullah bin Ziyad bin Abihi (anak ayahnya, disebut demikian karena ayahnya tidak jelas), lahir di Bashrah. Ketika sang ayah meninggal, ia berada di Irak. Kemudian ia pergi ke Syam. Mu'awiyah mengangkatnya sebagai gubernur wilayah Khura.s.an pada tahun 53 H dan tinggal di sana selama dua tahun. Pada tahun 55 H, Mu'awiyah memindahkannya ke Bashrah. Yazid menetapkannya di sana pada tahun 60 H. Tragedi Karbala terjadi di masa kekuasaannya dan atas perintahnya. Setelah kematian Yazid, penduduk Bashrah berbaiat kepadanya. Namun tak lama berselang , mereka melawannya. Diapun lari mencari perlindungan ke Syam, lalu kembali lagi ke Irak. Di tengah jalan, Ibrahim Asytar menghadangnya. Peperangan antara tentara keduanya pun tak dapat dielakkan lagi. Pasukan Ubaidillah kocar-kacir. Ibrahim memburunya dan membunuhnya di Khazir, satu daerah di Maushil. Ubaidillah dikenal dengan sebutan Ibnu Marjanah. Marjanah adalah nama ibunya yang terkenal dengan kebejatan dan lacurnya.
(Rujuk, Tarikh Thabari 6 hal. 166, 7 hal. 18 dan 144, Al-A'lam 4 hal. 193).
[40] Bashrah adalah kota Islam yang dibangun pada masa khilafah Umar bin Khattab di tahun 18 H. Kota ini disebut dengan Bashrah karena kata bashah dalam bahasa Arab berarti batu yang lunak, dan kota inipun demikian. Bila ada yang menyebutkan dua Bashrah itu berarti Bashrah dan Kufah. 
(Rujuk, Majma'u Al-Bahrain 3 hal. 225-226).
[41] Beliau adalah beka.s. budak Imam Husein a.s. yang menjadi kurir beliau ke kota Bashrah. Akan tetapi salah seorang pembesar kota Bashrah menyerahkannya kepada Ubaidillah bin Ziyad yang kemudian membunuhnya. Sebagian pakar sejarah menyebutkan bahwa Sulaiman ini ikut bersama Al-Husain di Karbala dan syahid di sana. Tampaknya mereka keliru dalam membedakan antara beka.s. budak beliau ini dengan bekas budak beliau lainnya yang syahid di Karbala.
( Rujuk, Tarikh Thabari 5 hal. 357,-358, Maqtal karya Khawarizmi 1 hal. 199, Biharu Al-Anwar 44 hal. 337-340, Ansharu Al-Husain hal. 74 dan Dhiya'u Al-'Ainain hal. 39-40 ).
[42] Nama ini tidak disebutkan oleh para sejarawan.
[43] Mundzir bin Jarud bin 'Amr bin Khumais Al-'Abdi lahir pada masa Nabi. Ikut serta dalam perang Jamal bersama Imam Ali a.s. Imam Ali a.s. menjadikannya gubernur Ishtakhar. Dan ketika berita buruknya sampai ke telinga Amirul Mukminin Ali a.s., beliau mengiriminya surat dan memecatnya dari jabatannya itu. Ubaidillah bin Ziyad memberinya kekuasaan atas satu daerah di India pada tahun 61 H. Di sanalah ia meninggal dunia di penghujung tahun 61 H.
( Rujuk, Al-Ishabah biografi No. 8336, Jamharatu Al-Ansab hal. 279, Al-Aghani 11 hal. 117 dan Al-A'lam 7 hal. 292 ).
[44] Dalam naskah R: Bani Sa'id.
[45] Dikenal dengan julukan Ahnaf yang berarti bengkok karena kakinya yang memang bengkok. Para sejarawan Islam berselisih pendapat tentang namanya yang sebenarnya. Ada yang mengatakan Shakhr adapula yang menyebutnya Dhahhak. Ia lahir di kota Bashrah. Sempat mengalami ma.s.a hidup Nabi saw. walaupun tidak pernah bertemu dengan beliau. Pada perang Jamal, ia memisahkan diri dari pa.s.ukan Imam Ali a.s. Meninggal di kota Kufah.
( Rujuk, Al-Thabaqat 7 hal. 66, Jamharatu Al-Ansab hal. 206, Tarikhu Al-Islam 3 hal. 129 dan Al-A'lam 1 hal. 276-277 ).
[46] Naskah B: Kami akan melindungi anda dengan tubuh kami jika anda mau.
Naskah A: Jika anda mau lakukanlah !
[47] Na.s.kah A: Sa'ad bin Yazid.
[48] Na.s.kah A: Buhairah binti Mundzir. 
Para sejarawan tidak menyebutkan biografinya.
[49] Kami tidak menemukan seorangpun yang menulis tentang riwayat hidupnya.
[50] Hani bin Urwah Al-Ghathifi Al-Muradi, berasal dari Bani Midzhaj. Beliau adalah salah seorang pembesar dan pemuka kota Kufah. Sempat mengalami masa hidup Nabi saw., juga orang kepercayaan Amirul Mukminin Ali a.s. Ikut serta dalam perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan. Beliau juga termasuk otak dari gerakan bawah tanah pimpinan Hujur bin 'Adiy melawan kekuasaan Ziyad. Gugur sebagai syahid di tangan Ubaidillah bin Ziyad pada tanggal 8 Dzulhijjah tahun 60 H. Kepala beliau dan Muslim bin Aqil dikirimkan ke Yazid bin Mu'awiyah oleh Ibnu Ziyad.
( Rujuk, Ta.s.miatu man Qutil ma'a Al-Husain hal. 156, Al-Kamil fi Al-Tarikh 4 hal. 10-15, Al-Mihbar hal. 480, Al-Naqaidh hal. 246, Al-Taj 3 hal. 359, Raghbatu Al-Amil 2 hal. 86, Jamharatu Al-Ansab hal. 382, Al-A'lam 8 hal. 68, Ansharu Al-Husain hal. 124-125 dan Dhiya'u Al-'Ainain hal 30-38 ).
[51] Abul Qasim Muhammad bin Asy'ats bin Qais Al-Kindi, salah seorang pengikut Mush'ab bin Zubair. Terbunuh pada tahun 67 H.
(Rujuk, Al-Ishabah biografi No. 8504 dan Al-A'lam 6 hal. 39).
[52] Asma' bin Kharijah bin Hushain Al-Fazzari, seorang tabi'in dan termasuk pembesar kota Kufah. Wafat tahun 66 H.
(Rujuk, Fawatu Al-Wafayat 1 hal. 11, Tarikhu Al-Islam 2 hal. 372, Al-Nujumu Al-Zahirah 1 hal. 179 dan Al-A'lam 1 hal. 305).
[53] Abu Umayyah Syuraih bin Harits bin Qais bin Jahm Al-Kindi, wafat tahun 78 H. Berasal dari Yaman. Jabatannya sebagai hakim kota Kufah dipegangnya dari jaman Umar, Utsman, Imam Ali a.s., Mu'awiyah sampai jaman Yazid. Mengundurkan diri dari jabatan tersebut pada saat Hajjaj bin Yusuf menguasai kota Kufah pada tahun 77 H.
(Rujuk, Al-Thabaqat 6 hal. 90-100, Wafatyatu Al-A'yan 1 hal. 224, Hilyatu Al-Auliya' 4 hal. 132 dan Al-A'lam 3 hal. 161).
[54] Na.s.kah R: Dia melantunkan bait syair Ma'dikarib Al-Zubaidi.
'Amr bin Ma'dikarib bin Rabi'ah, bin Abdillah Al-Zubaidi, seorang jawara Yaman yang terkenal dengan perampokan yang kerap ia lakukan. Datang ke kota Madinah pada tahun 9 H bersama sepuluh orang lainnya dari Bani Zubaid, lalu ia masuk Islam dengan diikuti oleh sepuluh orang yang bersamanya. Terkenal dengan panggilan Abu Tsaur. Meninggal dunia di dekat kota Rey pada tahun 21 H. Menurut sebagian riwayat ia meninggal karena kehausan pada perang Qadisiyyah.
( Rujuk, Al-Ishabah biorgafi No. 5972, Al-Thabaqat 5 hal. 383, Khizanatu Al-Adab 1 hal. 425-426 dan Al-A'lam 5 hal. 86 ).
[55] Seorang yang terkutuk dan kejam. Biografinya tidak kami jumpai.
[56] Naskah R: Muslim bin Umar.
Sebagian naskah yang lain menyebutkan: Muslim bin Umair Al-Bahili.
Biografinya tidak diceritakan.
p>[57] Na.s.kah R: Umar bin Hajjaj.
[58] Biografinya tidak kami dapatkan.
[59] Dia adalah bekas budak Asy'ats bin Qais Al-Kindi yang melahirkan anak untuknya. Tapi dia juga memiliki anak dari orang lain yang diberinya nama Bilal bin Usaid. Dia dimerdekakan oleh Usaid Al-Hadhrami.
(Rujuk, Al-Kamil fi Al-Tarikh 4 hal. 31, A'lamu Al-Nisa' Al-Mukminat hal. 363-364, juga sumber-sumber rujukan lain yang menulis biografinya ).
[60] Biografinya tidak kami dapatkan.
[61] Sayyid Khu'i mengatakan, "Ziyad bin Ubaid … dialah yang bia.s.a dikenal dengan sebutan Ziyad bin Abihi (Anak ayahnya). Ibunya adalah Sumayyah yang terkenal itu. Cerita penisbatannya sebagai anak Abu Sufyan sudah sangat masyhur. Tapi yang sangat mengherankan, mengapa Allamah dan Abu Daud menggolongkan orang yang terkutuk anak orang terkutuk dan ayah dari orang terkutuk ini dalam golongan pertama dalam kitab mereka. Sepertinya mereka tidak menyadari bahwa Ziyad bin Ubaid adalah Ziyad yang lebih terkenal dengan nisbat pada ibunya Sumayyah. Wallahu a'lam.
( Rujuk, Mu'jamu Rijali Al-Hadis 7 hal. 309 ).
[62] Dalam kitab Mustadrakatu 'Ilmi Al-Rijal 2 hal. 50 disebutkan: Bakr bin Hamran, seorang yang bengis dan terkutuk, pembunuh Muslim bin Aqil. 
[63] Dia adalah orang yang bengis dan terkutuk. Biografinya tidak disebutkan.
[64] Abdullah bin Zubair bin A'sya (Qais) bin Bajrah bin Qais bin Munqidz bin Tharif bin 'Amr bin Qain Al-Asadi.
( Rujuk, Abadu Al-Thaff 1 hal. 146 )
[65] Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa bait syair ini adalah gubahan Farazdaq, dan sebagian meyakininya sebagai gubahan Sulaiman Al-Hanafi.
Nama asli Farazdaq adalah Hammam bin Ghalib bin Sha'sha'ah Al-Tamimi Al-Darimi dengan julukan Abu Fara.s. Beliau adalah seorang penyair terhormat dari kota Bashrah. Syair-syairnya sangat berpengaruh pada kesusasteraan Arab. Beliau sangat dihormati oleh kaumnya. Ayah dan kakeknya adalah figur-figur dermawan yang disegani. Wafat di salah satu desa kota Bashrah pada tahun 110 H, dalam usia hampir seratus tahun.
(Rujuk, Khizanatu Al-Adab 1 hal. 105-108, Jamharatu A.s.y'ari Al-'Arab hal. 163 dan Al-A'lam 8 hal. 93 ).
[66] Naskah B tidak menyebutkan hari Selasa.
[67] "Menurut pendapat lain tanggal delapan Dzulhijjah" tidak terdapat dalam naskah B. Sedangkan naskah A menyebutkan: Menurut pendapat lain pada hari Rabu tanggal delapan Dzulhijjah."
[68] Syekh Teherani menyebutkan dalam kitab Al-Dzari'ah 8 hal. 241: Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Rustam Al-Thabari Al-Amuli Al-Mazandarani hidup setelah zaman Muhammad bin Jarir Al-Thabari yang terkenal itu dan semasa dengan Syekh Thusi yang wafat pada tahun 460 H dan Najasyi yang wafat pada tahun 450 H.
[69] Dalailu Al-Imamah atau Dalailu Al-Aimmah beliau tulis setelah tahun 411 H. Syekh Teherani berkata, "Orang pertama yang menukil sesuatu dari kitab ini adalah Sayyid Ibnu Thawus …Dan seperti yang kami sebutkan sebelum ini, perpustakaan Ibnu Thawus pada tahun 605 H, memiliki kurang lebih 1500 jilid kitab, termasuk naskah lengkap dari kitab ini. Beliau sering menukil kitab tersebut baik awal, pertengahan maupun bagian akhirnya dalam banyak kitab karangan beliau. Dalam menukilnya beliau sering dengan jela.s. menyebutkan nama sang penulis. Sayangnya, naskah kitab tersebut tidak sampai pada genera.s.i sekarang kecuali hanya sebagiannya saja.
( Rujuk, Al-Dzariah 8 hal. 244 )

 
[70]Mustadraku Ilmi Al-Rijal 4 hal. 95 menyebutkan: Abu Muhammad Sufyan bin Waki', biografinya tidak disebutkan oleh para ulama. 
Muhammad bin Furat Al-Dahan meriwayatkan darinya dari ayahnya dari A'masy. Muhammad bin Jarir Al-Thabari juga meriwayatkan darinya dari ayahnya dari A'masy. Thabari dalam Dalail-nya banyak membawakan riwayat beliau khususnya dalam bab mukjizat.
[71] Abu Sufyan Waki' bin Jarah bin Malih Al-Ruasi, beliau termasuk ahli hadis negeri Irak pada zamannya yang banyak menghafal hadis. Lahir di Kufah dan wafat di Faid sepulangnya dari ibadah haji pada tahun 197 H.
Pendapat lain mengatakan pada tahun 199 H. Ada juga pendapat ketiga yang menyebutkan tahun yang lain.
(Rujuk, Tadzkiratu Al-HufFadhlz 1 hal. 282, Hilayatu Al-Auliya' 8 hal. 368, Mizanu Al-I'tidal 3 hal. 270, Tarikhu Baghdad 13 hal. 466 dan Al-A'lam 8 hal. 117 ).
[72] Nama beliau adalah Sulaiman bin Mihran Al-Asadi (dari Bani Asad, bukan karena keturunan tapi dianggap sebagai keluarga oleh mereka ). Dia adalah seorang tabi'in yang bera.s.al dari kota Rey. Hidup dan wafat di kota Kufah. Beliau telah meriwayatkan kurang lebih 1300 buah hadis. Wafat tahun 148 H
(Rujuk, Al-Thabaqat 6 hal. 238, Al-Wafayat 1 hal. 213, Tarikhu Baghdad 9 hal. 3 dan Al-A'lam 3 hal. 135).
[73] Naskah R: Al-Wafidi. 
Biografinya tidak disebutkan.
[74] Naskah B: Zurarah bin Sholeh.
Kitab Mustadraku 'Ilmi Al-Rijal 3 hal. 425 menyebutkan Zurarah bin Khalaj dan Zurarah bin Sholeh adalah dua orang yang berbeda. Mengenai Ibnu Khalaj kitab tersebut menyatakan bahwa para ulama tidak menyebutkan biografinya. Beliau adalah salah seorang sahabat Imam Husein a.s.. yang pernah menyaksikan mukjizat beliau dan mendengar dari beliau sendiri bahwa beliau akan terbunuh sebagai syahid bersama para sahabatnya.
Adapun mengenai Ibnu Sholeh, ia menyebutkan bahwa beliau ini pernah berjumpa denan Imam Husein a.s.. tiga hari sebelum beliau bertolak menuju Irak dan meriwayatkan sesuatu dari beliau.
Tampaknya dua nama yang disebutkan di ata.s. ini adalah nama satu orang. Wallahu A'lam.
[75] Kota Bshrah dan Kufah terkenal dengan sebutan " Irakain" ( Dua Irak ). Irak dikenal dengan sebutan Sawad ( Hitam) karena tertutup oleh rerimbunan tanaman, kebun korma dan pepohonan. Lua.s. kawasan Sawad meliputi Maushil sampai Abadan dan Adzib sampai Halwan. Adapun negeri Irak yang kita kenal, luasnya kurang dari lua.s. Sawad.
( Rujuk, Mu'jamu Al-Buldan 3 hal. 272 dan 4 hal. 93-95 ).
[76] Dulu sebelum ditaklukkan oleh tentara Islam, tempat ini adalah tempat pemakaman umum orang-orang nasrani. Daerah tersebut berada di sekitar makam Al-Husain a.s. di dekat Nainawa.
( Rujuk, Turatsu Karbala hal. 19 )
[77] Dalam naskah A, setelah khotbah Al-Husain di atas terdapat teks demikian:
Diriwayatkan oleh Mu'ammar bin Mutsanna dalam kitab " Maqtalu Al-Husain a.s. ", beliau berkata, "Pada hari tarwiyah (tanggal delapan Dzulhijjah) Umar bin Sa'ad bin Abi Waqqash bersama pasukan yang berjumlah besar memasuki kota Mekah. Dia sedang menjalankan tugas dari Yazid untuk menyerang Al-Husain a.s. Akan tetapi Al-Husain a.s. telah meninggalkan kota suci tersebut pada yang sama."
Teks tersebut tidak terdapat dalam naskah R dan B. Sengaja kami nukilkan di sini karena mungkin terma.s.uk catatan pribadi penulis yang kemudian ditambahkan dalam teks asli kitab.
[78] Naskah A: Diriwayatkan dari kitab "Ashl " karangan Ahmad bin Husein bin Umar bin Buraidah, perawi yang tsiqah dan terpercaya. Tapi sebenarnya riwayat ini dari Muhammad bin Daud Al-Qummi.
Naskah B: Ahmad bin Al-Qummi.
Muhammad bin Ahmad bin Daud bin Ali, syekh Thaifah, dengan julukan Abul Hasan Al-Qummi, wafat pada tahun 368 H. Beliau adalah penulis kitab "Al-Mazar" dan salah seorang guru besar Syekh Mufid. Husein bin Ubaidillah bin Al-Ghadhiri juga meriwayatkan hadis darinya. 
( Rujuk, Al-Thabaqat bagian abad ke-4 hal. 236 ).
[79] Abul Qasim Muhammad Akbar bin Ali bin Abi Thalib, dikenal dengan sebutan Ibnul Hanafiyyah. Hanafiyyah adalah julukan ibunya Khaulah binti Ja'far. Beliau adalah orang yang alim, zuhud dan kuat. Dialog antara beliau dan Ali bin Al-Husain a.s.. seputar masalah imamah sangatlah masyhur. Dalam dialog tersebut beliau lalu tunduk dan patuh pada imamah dan kepemimpinan Ali bin Al-Husain a.s.. setelah adanya batu yang bersaksi akan imamah keponakannya itu. Bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Muhammad bin Al-Hanafiyyah bersimpuh di kaki Imam Sajjad. Wafat pada tahun 80 atau 81 H.
(Rujuk, Tanqihu Al-Maqal 3 hal. 115, Wafayatu Al-A'yan 5 hal. 91 dan Al-Thabaqat 5 hal. 91).
[80]Yaman, nama satu negeri di antara Oman dan Najran yang memanjang dari laut Arab sampai ke 'Adan.
( Rujuk, Mu'jamu Al-Buldan 5 hal. 447 ).
[81] Dari teks: "Diriwayatkan dari Muhammad bin Daud Al-Qummi…" sampai di sini, tidak terdapat dalam naskah R, tapi ada dalam naskah B dan A. Dalam naskah A setelah teks di atas masih ada kelanjutannya, sebagai berikut:
Muhammad bin Ya'qub Al-Kulaini dalam kitab "Rasail" menyebutkan dari Muhammad bin Yahya dari Muhammad bin Husein dari Ayyub bin Nuh dari Shafwan dari Marwan bin Isma'il dari Hamzah bin Hamran dari Abu Abdillah a.s. ketika kami ramai membicarakan tentang keluarnya Al-Husain a.s. tanpa diikuti oleh Ibnu Al-Hanafiyyah, beliau berkata, "Wahai Hamzah, aku ingin mengatakan kepadamu sesuatu sehingga engkau tidak akan bertanya lagi setelah meninggalkan tempat ini. Ketika Al-Husain a.s. hendak pergi, beliau menulis surat yang isinya:
Bismillah Al-Rahman Al-Rahim.
Dari Al-Husain bin Ali kepada Bani Hasyim.
Amma ba'du. Siapa yang bergabung denganku akan mati syahid. Dan siapa yang idak ikut bergabung tidak akan hidup terhotmat. Wassalam.
Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu'man Ra. dalam kitab "Maulidu Al-Nabi saw. wa Maulidu Al-Aushiya' a.s." menyebutkan riwayat dari Imam Abu Abdillah a.s. Ja'far bin Muhammad Shadiq a.s.., beliau berkata, "Ketika Abu Abdillah Al-Husain bin Ali a.s. pergi dari Mekah menuju Kufah, beliau bertemu dengan sepasukan malaikat yang turun dari langit dengan memegang tombak yang pendek dan menunggang kuda surga yang amat indah. Setelah mengucapkan salam kepada beliau, mereka berkata, "Wahai Hujjah Allah atas para hamba-Nya setelah kakek, ayah dan abangnya ! Allah Swt. telah mengutus kami untuk menolong kakekmu dalam banyak kesempatan. Dan kini kami diperintahkan untuk menolongmu.
Kepada mereka Al-Husain a.s. berkata,"Kita bertemu nanti di tempat aku tewa.s. terbunuh sebagai syahid, tanah Karbala. Jika aku telah sampai di sana, temui aku !"
Mereka kemudian berkata, "Wahai Hujjah Allah ! Allah telah memerintahkan kami untuk mendengar dan mematuhi kata-katamu. Apakah anda tidak kuatir kalau-kalau di tengah perjalanan anda dihadang oleh musuh, sehingga kami perlu menyertai anda dalam perjalanan ini ?
Al-Husain a.s. menjawab, "Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadapku apalagi mencelakanku hingga aku sampai di tempat aku akan dikuburkan."
Kemudian sekelompok kaum Mukminin dari bangsa Jin datang dan berkata, "Kami adalah pengikut dan para pembelamu. Jika anda perintahkan kami untuk membunuh semua musuh-musuhmu, akan kami bantai mereka semua tanpa perlu anda bersusah-susah berperang." Semoga Allah membalas kebaikan mereka.
Kepada mereka Al-Husain a.s. berkata, "Tidakkah kalian membaca ayat suci yang turun kepada kakekku ini ?
قل لو كنتم في بيوتكم لبرز الذين كتب عليهم القتل الي مضاجعهم
"Katakanlah: Sekiranya kalian berada di rumah kalian sndiri, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar juga ke tempat mereka terbunuh ". (Q.S. Al 'Imran: 154 ) Jika aku berdiam diri di sini, bagaimana para makhluk terkutuk itu akan diuji ? Dan siapakah yang akan menempati kuburan yang telah Allah tetapkan untuk aku tempati di hari Dia membentangkan bumi ini dan menjadikannya tempat berkumpul bagi para pecintaku. Di sanalah amal ibadah dan salat mereka diterima. Di sanalah doa mereka akan dikabulkan. Tempat yang menjadikan jiwa para syiah dan pecinta kami tenang dan tenteram, juga memberikan ra.s.a aman di dunia dan akhirat kepada mereka. Tapi, datanglah kalian pada hari Sabtu, hari 'Asyura' -dalam riwayat lain disebutkan hari Jumat- yang berakhir dengan terbunuhnya diriku. Setelah itu, tidak akan ada lagi seorangpun dari keluarga, keturunan dan saudaraku yang dikejar-kejar. Lalu kepalaku akan dikirimkan ke Yazid bin Mu'awiyah (Laknat Allah atas keduanya). Pasukan jin setelah mendengar kata-kata beliau tersebut menjawab, "Wahai kekasih Allah dan putra kekasih-Nya , jika saja perintahmu itu tidak wajib untuk ditaati dan kami diperbolehkan untuk menentangmu, keputusanmu itu akan kami tentang dengan membunuh semua musuhmu." Kepada mereka Al-Husain selanjutnya berkata, "Demi Allah, kami lebih dapat melakukannya dari pada kalian. Akan tetapi hal itu dimaksudkan agar mereka yang binasa, binasa dengan keterangan yang nyata dan mereka yang hidup, hidup dengan keterangan yang nyata pula." Sampai di sini teks tambahan naskah A. Tambahan ini tidak terdapat dalam naskah B dan R. Kami nukilkan di sini karena mungkin tambahan ini adalah catatan kaki penulis yang kemudian disertakan dalam teks asli kitab. [82] Tan'im nama satu daerah di luar kota Mekah, tepatnya antara Mekah dan Sarif, sejauh dua farsakh dari kota Mekah ( Satu farsakh kurang lebih 5,5 km, pent ) dan menurut pendapat lain empat farsakh. Daerah ini dinamakan Tan'im karena di sebelah kanannya terdapat sebuah gunung yang bernama Na'iim sedang di sebelah kirinya gunung yang bernama Na'im dengan lembahnya yang dikenal dengan nama Na'man. Di Tan'im terdapat beberapa buah masjid yang mengelilingi masjid Aisyah dan tempat minum di jalan menuju Madinah. Dari tempat inilah orang-orang Mekah memakai pakaian ihram untuk melakukan ibadah umrah. ( Rujuk, Mu'jamu Al-Buldan 2 hal. 49 ). [83] Biografinya tidak kami temukan. [84] Zatu 'Irq adalah nama suatu tempat di mana orang-orang Irak bia.s.a menyaksikan bulan sabit ( Hilal ) di sana. Daerah ini berada di antara Najd dan Tihamah. Pendapat lain mengatakan, 'Irq adalah nama satu gunung yang berada di jalan menuju Mekah. Di sanalah Zatu 'Irq berada. 'Ashmu'i berkata, "Kawasan tinggi dari dataran rendah Rimmah sampai ke permulaan Zatu 'Irq dinamakan Najd. 'Irq adalah nama gunung yang menghadap Zatu 'Irq. ( Rujuk, Mu'jamu Al-Buldan 4 hal. 107-108 ). [85] Disebutkan dalam Mustadraku 'Ilmi Al-Rijal 2 hal. 33: Bisyr bin Ghalib Al-Asadi Al-Kufi adalah seorang sahabat Imam Husain dan Imam Sajjad a.s., seperti yang dikatakan oleh Syekh Thusi dalam kitab Rijal-nya. Al-Barqi memasukkannya dalam daftar sahabat Imam Amirul Mukminin Ali, Al-Hasan, Al-Husain dan Sajjad a.s. Dialah dan saudaranya, Basyir, yang meriwayatkan doa Imam Husein a.s. pada hari Arafah di padang Arafat yang terkenal itu. Beliau juga meriwayatkan banyak hal dari Imam Husein a.s.. yang disebutkan dalam kitab "Uddatu Al-Da'i". Abdulah bin Syarik meriwayatkan hadis darinya.. [86] Naskah R: Taghlibiyyah Tsa'labiyyah adalah nama salah satu tempat di jalan yang menuju Mekah dari arah Kufah, setelah Syuquq dan sebelum Khuzaimiyyah, kurang lebih dua pertiga perjalanan. Di bawah tempat ini ada sebuah sumber air yang bernama Dhuaija'ah sejauh satu mil dari sana. Tempat ini dinamakan Tsa'labiyyah karena Tsa'labah bin 'Amr pernah tinggal di sana. Pendapat lain mengatakan bahwa Tsa'labaha bin Daudan bin Asad adalah orang pertama yang singah dan menggali air di tempat ini. ( Rujuk, Mu'jamu Al-Buldan 2 hal. 78 ) [87] Biografinya tidak kami temukan. [88] Zuhair bin Al-Qain Al-Bajli. Bani Bujailah adalah keturunan Anmar bin Arays bin Kahlan dari Arab Qahthan. Beliau ( Zuhair ), adalah salah seorang tokoh ma.s.yarakat Kufah. Tampaknya ketika bergabung bersama Al-Husain a.s., beliau telah berusia lanjut. Dalam doa ziarah disebutkan penghormatan khusus untuknya. Beliau bergabung bersama Al-Husain di tengah perjalanan dari Mekah menuju Irak, setelah sebelumnya enggan untuk bertemu dengan Al-Husain a.s. Beliau menyampaikan pidatonya di hadapan tentara Ibnu Ziyad sebelum terjadinya pertempuran tak seimbang di Karbala. Al-Husain a.s. mengangkatnya sebagai komandan para sahabat beliau. (Rujuk, Tarikh Thabari 5 hal. 396-397, 6 hal. 42 dan 422, Rijalu Syekh hal. 73 dan Ansharu Al-Husain hal. 88). [89] Dailam binti 'Amr atau Umar. Dialah yang mengatakan pada budak Zuhair setelah beliau mati syahid, "Pergi dan kafanilah tuanmu!" Budak tersebut berkata, "Akupun pergi. Saat melihat jasad Al-Husain a.s., aku berkata dalam hati, apakah aku akan mengkafani tuanku dan membiarkan jasad Al-Husain tanpa kafan ? lalu kuputuskan untuk mengkafani jasad Al-Husain a.s. Apa yang kulihat dan lakukan kuceritakan pada Dailam. Beliau berkata, "Bagus. Sungguh bagus sekali apa yang kau lakukan itu.." Lalu beliau memberiku kafan kedua dan berkata,"Pergi dan kafanilah tuanmu !" Akupun pergi dan melakukan apa yang ia perintahkan." ( Rujuk, Biografi Imam Husain a.s. dari kitab Al-Thabaqat yang dimuat dalam majalah Turatsuna No.: 10 hal. 19 dan A'lamu Al-Nisa' Al-Mukminat hal. 341 ). [90] Zubalah, nama tempat yang terkenal di jalan menuju Mekah dari arah Kufah. Tempat ini adalah sebuah desa yang ramai dengan banyak pusat perbelanjan dan berada di antara Waqishah dan Tsa'labiyyah. Abu Ubaidah Al-Sakuni berkata, "Zubalah adalah nama satu daerah setelah Qa' dari arah Kufah sebelum Syuquq. Di sana terdapat banyak benteng dan masjid Jami' milik Bani Ghadhirah dari kabilah Bani Amir. ( Rujuk, Mu'jamu Al-Buldan 3 hal. 129 ). [91] Naskah R: Najiyyah. [92] Qais bin Musahhar, seorang pemuda Kufah dari golongan pembesar Bani Asad. Beliau adalah salah seorang yang menjadi utusan penduduk Kufah untuk mengantarkan surat mereka kepada Al-Husain a.s., setelah Al-Husain a.s. mengumumkan penolakannya ata.s. baiat kepada Yazid dan pergi ke kota Mekah. Ikut menyertai Muslim ketika keluar dari kota Mekah sebagai duta Al-Husain a.s. ke Kufah. Dialah yang membawa surat Muslim kepada Al-Husain a.s. yang mengabarkan baiat orang-orang Kufah dan meminta beliau bergegas menuju Kufah ( Rujuk, Tarikh Thabari 5 hal. 394-395, Rijalu Syekh hal. 79, Tasmiatu man Qutila Ma'a Al-Husain hal. 152 dan Ansharu Al-Husain hal. 123-124 ). [93] Abu Abrur Rahman Hushain bin Numair bin Nail Al-Kindi Al-Sakuni, salah seorang komandan perang yang berperangai bengis di zaman Bani Umayyah, yang berasal dari kota Himash (Syiria). Dialah yang melempari Ka'bah dengan meriam. Di akhir hayatnya, dia menjadi tangan kanan Ubaidillah bin Ziyad dalam peperangannya melawan pa.s.ukan Ibrahim Al-Asytar. Bersama dengan Ubaidillah, ia tewas terbunuh di Maushil pada tahun 67 H. ( Rujuk, Al-Tahdzib karangan Ibnu 'Asakir 4 hal. 371 dan Al-A'lam 2 hal. 262 ). [94] Dalam kitab Irsyadu Al-Mufid 2 hal. 70. Beliau menulis surat itu di Hajiz di dataran rendah Rimmah. Marashidu Al-Iththila' 2 hal. 634. Dataran rendah Rimmah adalah tempat persimpangan Kufah dan Bashrah menuju Madinah. Mu'jamu Al-Buldan 1 hal. 666. Dataran rendah Rimmah adalah satu lembah terkenal di kitinggian Najd. Ibnu Duraid berkata, "Rimmah nama satu dataran rendah yang luas dengan banyak lembah di dalamnya." [95] Hurr bin Yazid bin Najiah bin Sa'id Al-Riyahi dari Bani Riyah bin Yarbu', salah seorang tokoh terkemuka kota Kufah. Dia adalah seorang pemimpin dari kalangan pembesar Bani Tamim dan salah seorang komandan pa.s.ukan Bani Umayyah di Karbala yang mengepalai sepermpat orang Bani Tamim dan Himdan. Dia bertemu dengan Al-Husain a.s. di bukit Dzi Hasam. Sebelum pertempuran mulai, Hurr bertobat. Pada saat pasukan berkuda Kufah datang dan berniat untuk membantai Al-Husain a.s. dan para sahabatnya, dia malah bergabung dengan beliau dan berperang demi beliau dengan sengit sampai akhirnya gugur sebagai syahid. (Rujuk, Tarikh Thabari 5 hal. 422, 400 dan 427, Tasmiatu man Qutila Ma'a Al-Husain hal. 153, Rijalu Al-Syekh hal. 73, Al-Bidayatu wa Al-Nihayah 8 hal. 172, Al-Kamil fi Al-Tarikh 4 hal. 19, Ansharu Al-Husain hal. 84-85 dan Al-A'lam 2 hal. 172 ). [96] Adzibu Al-Hajanat nama suatu daerah di 'Adzibu Al-Qawadis. Sedangkan 'Adzibu Al-Qawadis adalah nama sebuah sumur air yang terletak di antara Qadisiyyah dan Mughitsah dan berjarak empat mil dari Qadisiyyah. Menurut pendapat lain, tidak demikian. ( Rujuk, Mu'jamu Al-Buldan 4 hal. 92 ). [97] Tampaknya dia adalah Nafi' bin Hilal bin Nafi' bin Jamal bin Sa'd Al-'A.s.yirah bin Midzhaj Al-Midzhaji Al-Jamali. Salah orang yang menyebutnya Al-Bajli. Beliau adalah seorang pembesar kaum yang mulia, pemberani, qari', perawi hadis dan terma.s.uk salah seorang sahabat setia Amirul Mukminin Ali a.s. yang ikut serta dalam tiga peperangan beliau di Irak. Beliau pergi menyusul Al-Husain a.s. dan keduanya bertemu di tengah jalan. Banyak peristiwa yang terjadi padanya di Karbala yang disebutkan dalam kitab-kitab Maqtal. ( Rujuk, Ibsharu Al-'Ain hal. 86-89, Al-Thabari 6 hal. 253, Al-Kamil fi Al-Tarikh 4 hal. 29 dan Al-Bidayah 8 hal. 184 ). [98] Naskah A: Hudhair. Sebagian kitab menyebutkan nama beliau adalah Badir bin Hafir. Sepertinya Hudhair lebih tepat. Beliau adalah salah seorang qari terkemuka, tabi'in, taat beribadah, dan guru besar Al-Quran di masjid Kufah. Beliau berasal dari Bani Himdan yang hidup di lembah Kahlan. Tinggal di Kufah. Pernah berusaha untuk membujuk Umar bin Sa'ad agar keluar dari jaring kekuasaan Bani Umayyah. ( Rujuk, Tarikh Thabari 5 hal. 421, 423 dan 432, Mu'jamu Rijali Al-Hadis 3 hal. 289, Al-Manaqib 4 hal. 100, dan Biharu Al-Anwar 45 hal. 15 ). [99] Naskah A: " Karbala." Mendengar itu Al-Husain mendesah dan berkata,"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari karb dan bala (Petaka dan musibah)." Lalu katanya, " Ini adalah tempat petaka dan musibah ! Di sinilah kita semua harus berhenti. Inilah tempat kita akan dibantai. Di sinilah kita akan dikuburkan, sesuai dengan apa yang kudengar dari kakekku Rasulullah saw." [100] Naskah A: Semua yang hidup berjalan untuk mati Sudah dekat waktuku untuk segera pergi Keserahkan semuanya kepada Ilahi [101] Zainab binti Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s., wanita mulia dari Bani Hasyim, saudara kandung Al-Hasan dan Al-Husain a.s. Suami beliau adalah Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib. Zainab ikut menyertai abangnya, Al-Husain a.s., di Karbala. Termasuk salah seorang tawanan yang digiring dari Karbala ke Kufah dan selanjutnya ke Syam. Beliau seorang wanita berhati baja, penyabar yang mulia dan orator ulung. Wafat pada tahun 62 H, menurut sebuah riwayat. Pendapat yang paling ma.s.yhur mengatakan bahwa makam beliau berada di Mesir. ( Rujuk, Al-Ishabah 8 hal. 100, Nasabu Quraisy hal. 41, Al-Thabaqat 8 hal. 341 dan Al-A'lam 3 hal. 67 ). Untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan akurat dalam hal ini, silahkan merujuk ke kitab "Zainab Kubra" karangan Syekh Ja'far Al-Naqdi. Beliau telah melakukan studi dengan baik dan cermat seputar figur suci ini, penghulu wanita dunia setelah ibundanya, Fatimah Zahra' a.s.. [102] Ummu Kultsum binti Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. Beliau adalah adik Al-Hasan, Al-Husain dan Zainab. Isu perkawinannya dengan khalifah Umar termasuk masalah yang diperdebatkan dengan sengit oleh para ulama. Sering terjadi kekeliruan dalam menyebutkan dia dengan saudarinya yang bernama Zainab Kubra karena keduanya memiliki julukan yang sama. ( Rujuk biografinya dalam kitab, Ajwibatu Al-Masaili Al-Sirawiyyah hal. 226, Al-Istighatsah hal. 90, Al-Isti'ab 4 hal. 490, Usdu Al-Ghabah 5 hal. 614, A'lamu Al-Nisa Al-Mukminat hal. 181-220. Kitab terakhir ini menyebutkan banyak sumber rujukan biografi beliau). [103] Para sejarawan tidak menyebutkan riwayat hidupnya. Akan tetapi Sayyid Al-Amin dalam kitab A'yanu Al-Syi'ah 7 hal. 34 menulis: Di sekitar Al- 'Imarah di kota Damaskus, terdapat sebuah makam yang ramai dikunjungi oleh para peziarah yang dinisbatkan kepada beliau (Ruqayyah). Hanya Allahlah yang mengetahui kebenarannya. Makam tersebut dipugar dan dibangun lagi oleh Mirza Ali Ashghar Khan, perdana menteri Iran, pada tahun 1323 H … [104] Fatimah binti Imam Husain a.s., seorang tabi'in dan perawi hadis. Beliau meriwayatkan hadis secara mursal dari neneknya, Fatimah Zahra a.s., juga dari ayahnya. Bersama dengan saudarinya, Sukainah, bibinya, Zainab dan Ummu Kultsum, beliau dibawa dari Karbala ke Syam sebagai tawanan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa setibanya di kota Madinah, beliau menikah dengan Hasan bin Al-Hasan bin Ali. Setelah sang suami meninggal dunia, beliau menikah lagi dengan Abdullah bin 'Amr bin Utsman. Setelah Abdullah wafat, beliau menolak untuk menikah kembali. Sampai kemudian pada tahun 110 H beliau meninggalkan dunia yang fana ini. ( Rujuk, Al-Thabaqat 8 hal. 347, Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 119, 120, 202, 237 dan Al-A'lam 5 hal. 130 ). [105] Rubab binti Imruul Qais bin 'Adiy, istri Imam Husein a.s.., cucu Nabi saw. yang syahid di Karbala. Beliau menyertai sang suami di padang tandus Karbala. Setelah Al-Husain a.s. syahid, bersama para wanita lainnya beliau digiring ke Syam sebagai tawanan. Sekembalinya ke Madinah, banyak pembesar yang datang melamarnya, tapi beliau tolak. Setelah terbunuhnya Al-Husain a.s., beliau hidup selama satu tahun tanpa atap yang meneduhinya, hingga akhirnya wafat dengan hati yang membawa kesedihan dan kepedihan. Beliau terma.s.uk wanita penyair. Banyak bait syair beliau gubah untuk meratapi Al-Husain a.s.. ( Rujuk, Al-Mihbar 3 hal.13, A'lamu Al-Nisa' 1 hal. 378 dan Al-A'lam 1 hal. 378 ).