KHOTBAH 161- Seorang sahabat Amirul Mukminin (dari Bani Asad) bertanya kepadanya, "Bagaimana maka suku Anda (Quraisy) merebut hak (kekhalifahan) Anda ini, padah

Wahai, saudara dari Bani Asad! Tali pelana Anda longgar dan Anda telah menempatkannya secara salah. Walaupun demikian, Anda mempunyai perkerabatan karena perkawinan dan juga (mempunyai) hak untuk bertanya, dan karena Anda telah bertanya, dengarkanlah. Mengenai kelaliman terhadap kami dalam urusan ini padahal kamilah yang tertinggi dalam hal keturunan dan yang terkuat dalam hubungan dengan Rastilullah, itu adalah suatu tindakan keakuan yang atasnya hati manusia menjadi serakah, walaupun sebagian orang tak mempedulikannya. Pentahkim adalah Allah dan kepada-Nya-lah tempat kembali pada Hari Pengadilan.

Sekarang tinggalkan kisah sia-sia yang tentangnya ada tempik sorak dan tangisan di mana-mana![1]

Marilah lihat putra Abu Sufyan (Mu'awiah). Waktu telah membuat saya tertawa setelah menangis. Tak heran, demi Allah; apakah urusan yang melampaui semua yang mengherankan dan yang telah menambah kesalahan ini. Orang-orang ini telah berusaha memadamkan cahaya Allah dari lampu-Nya dan menutup mata air dari sumbernya. Mereka mencampur-adukkan air pembawa wabah di antara saya dan mereka sendiri. Apabila kesukaran-kesukaran yang mencobai telah disingkirkan dari antara kami, saya akan membawa mereka pada jalan kebenaran; apabila tidak demikian:

... Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat. (QS. 35:8)

--------------------------------------------------------------------------------

[1] lni sepotong puisi dari penyair terkenal Imri'ul-Qais al-Kindi. Lanjutannya adalah:

Dan beritahulah aku tentang riwayat yang terjadi pada unta-unta tunggangan itu.

Peristiwa di balik kuplet itu adalah sebagai berikut. Ketika ayah Imri'ul-Qais (yakni Hujr ibn al-Harits) terbunuh, penyair itu mendatangi berbagai suku Arab mencari bantuan untuk membalaskan dendam atas kematian ayahnya. Sehubungan dengan itu ia menginap di rumah seorang lelaki anggota suku Jadilah. Tetapi, karena merasa dirinya tak aman, ia meninggalkan tempat itu lalu menginap pada Khalid ibn Sadus al-Nabhani. Sementara itu seorang lelaki Jadilah bernama Ba'its ibn Huwaish melarikan beberapa ekor untanya. Imri'ul-Qais mengadukan hal itu kepada tuan rumahnya dan dia memintanya untuk membawa serta beberapa ekor unta betinanya (Imri'ul-Qais) dan dengan demikian ia akan mendapatkan kembali unta-untanya. Maka Khalid pergi kepada para pencoleng itu dan meminta mereka mengembalikan unta-unta tamunya yang telah mereka curi. Mereka mengatakan bahwa ia bukan tamu dan tidak berada di bawah perlindungan. Karenanya Khalid bersumpah bahwa orang itu benar-benar adalah tamunya sambil menunjukkan kepada mereka unta betinanya yang ada padanya (Khalid). Maka mereka pun setuju untuk mengembalikan unta-unta itu. Tetapi, ketimbang mengembalikan unta-unta itu, mereka melarikan unta-unta betina itu pula.

Versi lain mengatakan bahwa mereka sesungguhnya mengembalikan unta-unta itu kepada Khalid tetapi ketimbang menyerahkannya kepada Imri'ul-Qaus, Khalid mengambilnya untuk dirinya sendiri. Ketika Imri'ul-Qais mengetahui hal itu, ia menyusun beberapa bait, termasuk yang terkutip di atas. Artinya, "Anda tinggalkanlah riwayat unta-unta yang telah dirampok ini, katakanlah sekarang kepada saya tentang unta-unta betina yang direbut dari tangan saya."

Maksud Amirul Mukminin mengutip bait itu sebagai ilustrasi ialah bahwa "Sekarang karena Mu'awiyah sedang berperang, kita harus membicarakan hal itu dan meninggalkan pembicaraan tentang penjarahan yang dilakukan oleh orang-orang yang telah menyerobot hak-hak saya. Waktu itu telah berlalu. Sekarang adalah waktu untuk bergelut dengan para pencoleng saat ini. Maka bahaslah peristiwa saat itu dan janganlah memulai ketegangan yang bukan saatnya." Amirul Mukminin mengatakan ini karena lelaki itu mengajukan pertanyaan itu kepadanya pada saat pertempuran Shiffin, ketika pertempuran sedang sengit dan darah sedang tertumpah.