KHOTBAH 163- Ketika orang mendatangi Amirul Mukminin sebagai utusan dan mengadu kepadanya tentang 'Utsman, dan meminta supaya ia berbicara kepadanya atas nama m

Ketika orang mendatangi Amirul Mukminin sebagai utusan dan mengadu kepadanya tentang 'Utsman, dan meminta supaya ia berbicara kepadanya atas nama mereka dan menasihati ('Utsman) demi mereka, Amirul Mukminin pergi kepada 'Utsman seraya mengatakan:[1]


Orang banyak berada di belakang saya, dan mereka telah menjadikan saya utusan antara Anda dan mereka; tetapi, demi Allah, saya tak tahu apa yang akan dikatakan kepada Anda. Saya tidak mengetahui apa-apa (dalam hal ini) yang tidak Anda ketahui. Saya tak tahu apa yang harus dikatakan kepada Anda, dan tak dapat saya mengantarkan Anda ke suatu hal yang tidak Anda ketahui. Anda tentu mengetahui apa yang kami ketahui, kami tidak mengetahui sesuatu sebelum Anda, yang dapat kami katakan kepada Anda; tidak pula kami mempelajari sesuatu dalam rahasia yang harus kami sampaikan kepada Anda. Anda telah melihat sebagaimana kami telah lihat, dan Anda telah mendengar sebagaimana kami telah mendengar. Anda duduk bersama Rasulullah sebagaimana kami. (Abu Bakar) ibn Abi Quhafah dan ('Umar) ibn Khaththab tidak lebih bertanggung jawab untuk berbuat benar ketimbang Anda, karena Anda lebih dekat ketimbang kedua mereka kepada Rasulullah melalui kekerabatan, dan Anda juga memegang ) kekerabatan kepada beliau melalui perkawinan, yang tidak mereka pegang.

Maka (bertakwalah kepada) Allah, dalam diri Anda sendiri; karena, demi Allah, kepada Anda tidak akan diperlihatkan apa pun seakan-akan Anda buta atau menilai seakan-akan Anda tak tahu. Jalan-jalan terang sementara panji-panji keimanan telah ditetapkan. Hendaklah Anda ketahui bahwa di antara hamba-hamba Allah, orang yang paling mulia di hadapan Allah adalah imam yang adil yang dibimbing (oleh Allah), dan membimbing orang lain. Jadi, ia berdiri pada jalan-jalan yang dikenali dari perilaku Rasul dan menghancurkan bid’ah-bid’ah yang tidak dikenali. Sunah (Nabi) adalah jelas dan mempunyai tanda-tanda, sementara bid’ah pun jelas dan mempunyai tanda-tanda juga. Sesungguhnya, orang yang terburuk di hadapan Allah ialah pemimpin lalim yang tersesat dan melaluinya orang lain tersesat. la menghancurkan sunah yang telah diterima dan menghidupkan kembali bid’ah-bid’ah yang telah ditinggalkan. Saya mendengar Rasulullah berkata, "Pada Hari Pengadilan, pemimpin yang lalim akan dibawa tanpa seseorang untuk menopangnya atau seseorang untuk mengajukan alasan-alasan atas namanya, dan ia akan dilemparkan ke dalam neraka di mana ia akan berputar seperti putaran gilingan tangan, kemudian (akhirnya) ia akan dikurung pada rongganya."

Saya bersumpah kepada Anda, demi Allah, bahwa Anda tidak seharusnya menjadi si pemimpin rakyat yang akan dibunuh karena telah diriwayatkan bahwa, "Imam dari umat ini akan terbunuh, (yang) sesudahnya pembunuhan dan peperangan akan terbuka bagi mereka hingga Hari Pengadilan, dan ia akan mengacaukan urusan mereka dan menyebarkan kekacauan atas mereka. Sebagai hasilnya mereka tidak akan membedakan kebenaran dan kebatilan. Mereka akan bergoyang seperti gelombang dan akan sama sekali tersesat." Hendaklah Anda jangan menjadi hewan pengangkut bagi Marwan sehingga ia menyeret Anda ke mana saja ia kehendaki, walaupun ketuaan usia (Anda) dan kepanjangan hidup (Anda).

Lalu 'Utsman berkata kepada Amirul Mukminin, "Bicaralah kepada rakyat untuk memberikan waktu kepada saya hingga saya memperbaiki penderitaan mereka." 

Amirul Mukminin lalu berkata:

Setalian dengan Madinah, tidak ada masalah waktu. Mengenai daerah-daerah yang lebih jauh, Anda boleh mengambil waktu yang diperlukan untuk sampainya perintah Anda ke sana.•

--------------------------------------------------------------------------------

[1] Di masa kekhalifahan 'Utsman, ketika kaum Muslim sudah letih karena penindasan pemerintah dan para pejabatnya, mereka datang berkumpul di Madinah untuk mengadu kepada para sahabat senior Nabi, secara damai. Mereka mengutus orang menghadap Amirul Mukminin dan memohon kepadanya untuk menemui 'Utsman dan menasihati dia supaya jangan menginjak-injak hak kaum Muslim dan supaya mengakhiri kesukaran yang akan menyebabkan kehancuran rakyat. Amirul Mukminin menerima permohonan itu lalu pergi menemui 'Utsman dan mengucapkan kata-kata itu.

Untuk melunakkan pahitnya nasihat itu, Amirul Mukminin mengambil cara bicara seperti itu pada permulaan, yang akan menggugah rasa tanggung jawab lawan bicaranya dan mengarahkannya kepada pelaksanaan kewajibannya. Jadi, dengan menyebut persahabatannya dengan Nabi, kedudukan pribadinya, dan hubungan kekerabatannya dengan Nabi, berlawanan dengan kedudukan kedua khalifah sebelumnya, ia bermaksud menggugah 'Utsman menyadari kewajibannya. Bagaimanapun juga, ini jelas bukan saat untuk memuji-mujinya sehingga bagiannya yang kemudian dapat diabaikan dan seluruh pembicaraan boleh dipandang sebagai suatu pujian atas capaiannya, karena sejak awal mulanya telah jelas bahwa segala yang dilakukan 'Utsman telah dilakukannya dengan sengaja. Tak ada sesuatu yang dilakukan tanpa sepengetahuannya atau tanpa diberitahukan kepadanya, dan bahwa ia tak dapat dianggap tidak harus bertanggung jawab atasnya dengan alasan bahwa ia tidak mengetahuinya. Apabila pengambilan keputusan yang membuat seluruh dunia Islam bangkit bergelora walaupun ia seorang sahabat Nabi, yang telah mendengarkan ajaran-ajaran beliau, telah melihat perilaku beliau dan telah mengenal perintah-perintah Islam dapat dipandang sebagai suatu keutamaan, maka ini pun tak dapat dipandang sebagai pujian. Nyatanya, kata-kata yang dihujahkan sebagai pujian itu cukuplah untuk membuktikan parahnya pelanggaran; suatu kejahatan karena tak tahu dan tak sadar tidak separah kejahatan yang dilakukan dengan pengetahuan dan kesadaran. Orang yang tidak sadar akan naik turunnya suatu jalan dan terantuk di malam gelap dapatlah dimaafkan, tetapi orang yang mengenal naik turunnya jalan lalu terperosok di siang terang patutlah disalahkan. Apabila pada saat ini dikatakan kepadanya bahwa ia mempunyai mata tetapi tidak menyadari naik turunnya jalan, itu tidak berarti memuji luasnya pengetahuannya atau terangnya pandangan matanya; maksud kata-kata itu adalah bahwa ia tidak melihat pelubang-pelubang walaupun ia mempunyai mata, dan tidak berjalan secara mestinya, dan karena itu maka mempunyai mata atau tidak, dan mengetahui atau tidak, adalah sama saja baginya.

Dalam hubungan ini tekanan besar diletakkan pada kedudukannya sebagai menantu Nabi, yakni bahwa Nabi mengawinkan kedua orang putrinya, Ruqayyah dan Umm Kultsum, dengan dia satu demi satu. Sebelum mengambilnya sebagai suatu keutamaan, watak 'Utsman yang sesungguhnya sebagai menantu pun perlu dilihat. Sejarah menunjukkan bahwa dalam hal ini 'Utsman tidak beroleh keutamaan. Sebelumnya Ruqayyah dan Umm Kultsum telah dikawinkan dengan kedua putra Abu Lahab, yakni 'Utbah dan 'Utaibah, tetapi walaupun mereka menjadi menantu Nabi, mereka tidak termasuk orang-orang berkedudukan di masa jahiliah. Maka bagaimana ini akan dianggap sebagai sumber kedudukan tanpa suatu keutamaan pribadi, bilamana tidak ada otoritas tentang pentingnya hubungan ini. Dan tak ada pula keistimewaan yang terpaut pada hal ini, misalnya karena mungkin ada suatu persaingan antara 'Utsman dan seorang pribadi penting dalam hal ini dan bahwa pilihan atasnya untuk itu mungkin memberikannya keistimewaan atau bahwa kedua wanita itu mungkin ditunjukkan sebagai memiliki kedudukan penting dalam sejarah, riwayat atau biografi yang sebagai hasilnya hubungan ini dapat diberi keistimewaan dan dipandang sebagai keutamaan baginya. Apabila perkawinan kedua putri ini dengan 'Utbah dan 'Utaibah di masa jahiliah dipandang sebagai sah atas dasar bahwa perkawinan dengan orang kafir sampai pada waktu itu masih dihalalkan, maka dalam kasus 'Utsman syarat halalnya adalah penerimaan Islamnya; tak ada keraguan bahwa ia telah mengikrarkan kalimat syahadat dan telah menerima Islam dengan ikrarnya. Karena itu, maka perkawinan itu dapat dianggap sebagai bukti bahwa ia telah masuk Islam, tetapi tak ada kehormatan lain yang dapat dibuktikan melaluinya.

Lagi, tidak pula ada kesepakatan bahwa kedua wanita itu adalah putri Muhammad (saw) yang sesungguhnya, karena ada kelompok yang menolak mereka sebagai putri beliau yang sesungguhnya, dan memandang mereka sebagai putri Halah, saudara perempuan Khadijah, atau putri suami Khadijah yang sebelumnya. Abul Qasim al-Kufi (m. 352 H.) menulis,

"Ketika Rasulullah kawin dengan Khadijah, maka beberapa waktu kemudian Halah meninggal dan meninggalkan dua orang putri, yang satu bernama Zainab, dan seorang lagi bernama Ruqayyah, dan keduanya dibesarkan oleh Nabi dari Khadijah dan mereka memeliharanya, dan adalah adat sebelum Islam bahwa anak dikaitkan pada orang yang membesarkannya." (al-Istighatsah, h. 69)

Ibn Hisyam menulis tentang anak-anak Siti Khadijah sebagai berikut,

"Sebelum kawin dengan Nabi, ia kawin dengan Abi Halah ibn Malik. Dengannya ia melahirkan Hind binti Abi Halah dan Zainab binti Abi Halah. Sebelum kawin dengan Abi Halah ia kawin dengan 'Utayyiq ibn 'Abid ibn 'Abdillah ibn 'Umar ibn Makhzum dan melahirkan 'Abdullah dan seorang perempuan." (as-Sirah an-Nabawiyyuh, IV, h. 293)

Ini menunjukkan bahwa Khadijah mempunyai dua anak perempuan sebelum ia kawin dengan Nabi, dan menurut segala segi pandang masa itu mereka disebut putri beliau, dan orang yang kawin dengan mereka disebut menantu beliau, seakan-akan perempuan-perempuan itu adalah putri-putri beliau. Oleh karena itu, maka sebelum mengajukannya sebagai suatu kebanggaan status sesungguhnya dari wanita-wanita itu, haruslah dicatat dan harus dilihat sekilas perilaku 'Utsman.

Dalam hubungan ini, al-Bukhari dan para perawi lainnya serta para sejarawan mencatat hadis sebagai berikut,

Anas ibn Malik meriwayatkan bahwa: "Kami sedang hadir pada kesempatan penguburan putri Nabi Umm Kultsum, sementara Nabi duduk di sisi kuburnya. Saya melihat mata beliau mencucurkan air mata. Kemudian beliau berkata, 'Adakah seseorang di antara Anda yang tidak "berbuat dosa" tadi malam?' Abu Thalhah (Zaid ibn Sahl al-Anshari) berkata, 'Saya,' lalu Nabi berkata, 'Maka masuklah Anda ke dalam (liang) kubur,' dan ia pun masuk ke dalam kubur."

Para komentator mengatakan tentang 'berbuat dosa' bahwa Nabi bermaksud mengatakan 'orang yang tidak berhubungan seksual'. Pada saat itu Nabi mengungkapkan kehidupan pribadi 'Utsman dan mencegahnya masuk ke dalam kubur, padahal di antara karakter Nabi yang menonjol ialah bahwa beliau tidak menghina atau meremehkan seseorang dengan mengumumkan kehidupan pribadinya; walaupun mengetahui kekurangan orang lain, beliau mengabaikannya. Tetapi dalam kasus ini keadaannya sudah sedemikian rupa sehingga dipandang perlu untuk menghinanya di hadapan kerumunan orang itu.

Karena 'Utsman tidak mempedulikan kematian istrinya (Umm Kultsum), dan tidak terharu atau merasa sedih atas kejadian itu, dan tidak mempedulikan terpotongnya hubungannya dengan Nabi (sebagai menantu beliau), 'Utsman mengadakan hubungan seksual (dengan istrinya yang lain) pada malam itu, sehingga Nabi mencabutnya dari hak dan kehormatan itu. (al-Bukhari, ash-Shahih, II, h. 100-101, 114; Ahmad ibn Hanbal, al-Musnad, III, h. 126, 228, 229, 270; al-Hakim, al-Mustadrak, IV, h. 47; al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV, h. 53; Ibn Sa'd, ath-Thabaqat al-Kabrâ, VIII, h. 26; as-Suhaili, ar-Raudh al-Unuf, II, h. 107; Ibn Hajar, al-Ishabah, IV, h. 489; Fat-h al-Bari, III, h. 122; al-'Aini, 'Umdat al-Qari, IV, h. 85; Ibn al-Atsir, an-Nihayah, III, h. 276; Ibn Manzhur, Lisan al-'Arab, IX, h. 280-281; az-Zubaidi, Taj al-'Arus, VI, h. 220.)