KHOTBAH 196- Ketertautan Amirul Mukminin kepada Nabi Pelaksanaan Upacara Penguburan Beliau

Para sahabat Muhammad (saw) yang merupakan penjaga (risalah Ilahi) mengetahui bahwa sama sekali saya tidak pemah membangkang kepada Allah atau Rasul-Nya (saw),[1] dan berkat keberanian yang dengan itu Allab memuliakan saya,[2] saya mendukungnya dengan hidup saya, pada kesempatan-kesempatan di mana bahkan orang gagah berani berpaling dan kaki-kaki tinggal di belakang (ketimbang maju ke depan).

Ketika Nabi (saw) wafat, kepala beliau berada di dada saya, dan napas beliau (yang terakhir) meniup pada tangan saya dan saya menyalurkannya ke wajah saya. Saya memandikan jenazah beliau (saw), dan para malaikat membantu saya. Rumah dan halaman penuh dengan mereka. Satu partai dari mereka sedang turun dan yang lain sedang naik. Telinga saya terus menangkap suara-suara dengungan ketika mereka memohonkan salawat Allah atas beliau, sampai kami memakamkan beliau ke dalam kubur. Maka siapakah yang mungkin mempunyai hak yang lebih besar pada beliau ketimbang saya selama hidupnya dan setelah wafatnya? Oleh karena itu, bergantunglah pada kecerdasan Anda dan jadikanlah niat-niat Anda suci dalam memerangi musuh-musuh Anda, karena saya bersumpah demi Dia yang tiada tuhan selain Dia, bahwa saya berada pada jalan kebenaran dan bahwa mereka (musuh) berada di jalan batil yang menyesatkan. Anda mendengar apa yang saya katakan, dan saya memohon keampunan Allah atas diri saya dan diri Anda. •

--------------------------------------------------------------------------------

[1] lbn Abil Hadid menulis (dalam Syarh Nahjul Balâghah, X, h. 180-183), kata-kata Amirul Mukminin bahwa tak pernah ia melanggar perintah Nabi adalah semacam sindiran kepada orang-orang yang tak merasa ragu-ragu menolak perintah Nabi, dan kadang-kadang bahkan menghalanginya. Misalnya, di masa perdamaian Hudaibiyah, Nabi setuju untuk membicarakan perdamaian dengan kaum kafir Quraisy. Salah seorang sahabat beliau menjadi demikian berang sehingga ia mengungkapkan keraguan tentang kenabian beliau, yang atasnya Abu Bakar berkata,

"Celaka bagimu! Teruslah berpegang pada beliau. Pastilah beliau Rasul Allah dan la tidak akan meruntuhkannya."

Kata pendahulu sumpah itu, inna, dan kata penekan, lam, yang digunakan di sini untuk menciptakan keyakinan tentang kenabian menunjukkan bahwa orang yang dialamati kata-kata itu telah menyimpang lebih jauh dari sekadar ragu-ragu, karena kata-kata penekanan ini hanya digunakan bila tahap penolakan telah tercapai. Namun, apabila keimanan menuntut tidak adanya keraguan, hadimya keraguan haruslah menyiratkan makna cacat dalam keimanan, sebagaimana dikatakan dalam firman Allah,

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah.orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu ...." (QS. 49:15)

Seperti itu pula, ketika Nabi bermaksud melakukan salat jenazah 'Ubay ibn Salûl, sahabat itu juga berkata kepada beliau, "Bagaimana maka Anda bermaksud, memohonkan keampunan bagi pemimpin para munafik?" Dan ia bahkan menarik untuk menjauhkan Nabi dengan memegang baju beliau. Kemudian Nabi sampai mengatakan, "Tak ada tindakan saya yang di luar perintah Allah." Sama seperti itu, perintah Nabi untuk menyertai pasukan Usamah ibn Zaid juga diabaikan. Yang terbesar dari semua pembangkangan ini diperlihatkan sehubungan dengan niat Nabi untuk menuliskan wasiat beliau; tuduhan besar dilakukan terhadap Nabi, yang membuktikan tidak hadirnya iman dalam perintah syariat, dan menciptakan keraguan atas setiap perintah tentang apakah hal itu berdasarkan wahyu Ilahi atau na'udzu billâh, hanya akibat kelainan mental.

[2] Siapa yang dapat menyangkal bahwa singa Allah yang selalu berjaya, 'Ali ibn Abi Thalib (as), menjadi perisai Nabi dalam setiap saat gawat dan melaksanakan kewajiban melindungi beliau dengan sikap berani dan gagah perkasa yang dikamniakan Allah kepadanya? Kesempatan pertama baginya untuk mempetaruhkan nyawanya adalah ketika kaum kafir Quraisy memutuskan untuk membunuh Nabi, dan 'Ali tidur di tempat tidur beliau sementara dikepung oleh musuh yang mengancam dengan pedang, yang dengan itu musuh tidak berhasil mencapai tujuannya. Kemudian, dalam pertempuran-pertempuran di mana musuh menyerang Nabi secara bersama-sama, dan di mana bahkan kaki para pahlawan kenamaan tak dapat berdiri kukuh, Amirul Mukminin tetap tabah dengan panji Islam di tangannya. Ibn 'Abdil Barr dan al-Hakim menulis tentang itu,

"Ibn 'Abbas berkata bahwa 'Ali mempunyai empat keutamaan yang tidak dipunyai siapa pun lainnya. Pertama, ia orang pertama di antara Arab dan non-Arab yang salat bersama Rasulullah. Kedua, ia selalu memegang panji Islam dalam setiap pertempuran. Ketiga, ketika orang-orang melarikan diri dari Nabi, 'Ali tetap bersama beliau. Dan keempat, ialah yang memandikan jenazah Nabi dan meletakkannya dalam kuburnya'." (al-hti'ab, III, h. 1090; al-Mustadrak 'alâ ash-Shahihain, III, h. 111)

Suatu kajian tentang jihad yang dilakukan di masa Nabi tidak meninggalkan keragu-raguan bahwa, kecuali dalam pertempuran Tabuk di mana Amirul Mukminin tidak ikut serta, semua pertempuran menyaksikan keperkasaannya dan semua keberhasilan adalah karena keberaniannya. Dalam Perang Badr tujuh puluh kafir terbunuh, setengah darinya tewas oleh pedang 'Ali. Di Perang Uhud, ketika kemenangan berubah menjadi kekalahan sebagai akibat kaum Muslim menyibukkan diri dalam mengumpul harta rampasan, dan melarikan diri di bawah serangan mendadak oleh musuh, Amirul Mukminin tetap tabah, dengan memandang jihad sebagai kewajiban agamawi, dan menunjukkan keperkasaan yang demikian hebat dalam mendukung dan membela Nabi, sehingga Nabi dan malaikat pun mengakuinya. Lagi, dalam Perang Khandaq (parit), Nabi disertai tiga ribu mujahid, tetapi tak seorang pun berani menghadapi 'Amr ibn 'Abdawadd. Akhirnya Amirul Mukminin membunuhnya dan menyelamatkan kaum Muslim dari kehinaan. Dalam Perang Hunain, kaum Muslim bangga karena jumlah mereka sepuluh ribu orang sedang kaum kafir hanya empat ribu, tetapi di sini pun mereka meloncat berebut harta rampasan, yang mengakibatkan kaum kafir beroleh kesempatan dan menyerbu mereka. Kaiena bingung oleh serangan mendadak ini, kaum Muslim melarikan diri sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an,

"Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukmin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai berai." (QS. 9:25)

Pada kesempatan ini Amirul Mukminin bersiteguh seperti batu karang, dan pada akhirnya kemenangan tercapai dengan pertolongan Allah.