KHOTBAH 199- Khianat dan Pengkhianatan Mu'awiyah dan Nasib Orang-orang yang Bersalah Mengadakan Komplotan

Demi Allah,[1] Mu'awiah tidak lebih cerdik dari saya, tetapi ia menipu dan melakukan perbuatan jahat. Sekiranya saya tidak benci akan penipuan maka tentulah saya menjadi paling cerdik dari semua manusia. Tetapi setiap penipuan adalah dosa dan setiap dosa adalah pendurhakaan (kepada Allah), dan setiap orang penipu akan mempunyai sebuah panji yang dengan itu ia akan dikenal pada Hari Pengadilan. Demi Allah, saya tak dapat dilalaikan oleh siasat, tak dapat pula saya dikalahkan oleh kesulitan. •

--------------------------------------------------------------------------------

[1] Orang-orang yang jahil akan agama dan akhlak, bebas dari ikatan hukum agama dan tidak menyadari konsepsi hukuman dan ganjaran, tidak mendapatkan hampanya dalih untuk mencapai tujuan mereka. Mereka dapat beroleh jalan keberhasilan fana pada setiap tahapan; tetapi bilamana dikte kemanusiaan, atau Islam, atau batas-batas yang diletakkan oleh etika dan hukum agama menjadi penghalang, kesempatan untuk merancang dan mendapatkan sarana menjadi lebih sempit, dan kemungkinan bertindak menjadi terbatas. Pengaruh dan kekuasaan Mu'awiyah adalah akibat rekayasa dan cara-cara yang tidak mengenal halangan dan rintangan tentang apa yang halal dan haram, tidak pula ia takut akan Hari Pengadilan. Sebagaimana dikatakan oleh 'Allamah ar-Raghib al-Ishfahani ketika berbicara tentang watak, 'Tujuannya selalu adalah untuk mencapai maksudnya, halal atau haram. la tidak peduli akan agama dan tak pernah memikirkan hukuman Ilahi. Maka, untuk memelihara kekuasaannya ia menempuh jalan berbohong dan mengada-adakan cerita rekaan, melaksanakan segala macam tipuan dan rekayasa. Ketika merasa bahwa ia tak mungkin beriiasil tanpa melibatkan Amirul Mukminin dalam peperangan, ia menghasut Thalhah dan Zubair untuk melawannya. Ketika merasa tak mungkin mencapai keberhasilan dengan cara itu, ia menghasut orang Suriah dan menimbulkan perang saudara, Perang Shiffin. Dan ketika posisi pemberontak itu telah diketahui dengan gugurnya 'Ammar ibn Yasir, ia segera mengatakan bahwa 'Ali bertanggung jawab atas gugurnya 'Ammar karena dia yang membawanya ke medan pertempuran; dan pada kesempatan lain ia menafsirkan kata-kata 'pihak pendurhaka' dalam hadis Nabi itu sebagai 'pihak pembalas dendam' dengan maksud untuk membenarkan bahwa 'Ammar dibunuh oleh kelompok yang mencari pembalasan atas terbunuhnya 'Utsman, padahal bagian berikut dari ucapan Nabi, yakni ‘ia hendak menyeru mereka ke surga sementara mereka menyerunya ke neraka' tidak meninggalkan ruang untuk penafsiran lain. Ketika tak tertinggal harapan kemenangan bahkan dengan siasat licik itu, ia merekayasa untuk mengangkat mashaf Al-Qur'an di ujung tombak, walaupun dalam pandangannya Al-Qur'an maupun perintah-perintahnya tidak berarti apa-apa. Apabila ia sungguh-sungguh bertujuan mengambil keputusan dari Al-Qur'an, mestinya ia mengajukan tuntutan itu sebelum dimulainya pertempuran, dan ketika diketahuinya bahwa keputusan itu telah diperoleh 'Amr ibn 'Ash, dengan menipu Abû Musa al-Asy'ari, dan bahwa hal itu bahkan sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan Al-Qur'an, ia tak seharusnya menerimanya dan mestinya ia menghukum 'Amr ibn 'Ash atas kelicikan itu, atau sekurang-kurangnya memperingatkan dan mencelanya. Tetapi sebaliknya, kinerjanya dihargai dan sebagai hadiahnya ia dijadikan Gubernur Mesir."

Berlawanan dengan ini, perilaku Amirul Mukminin merupakan teladan tinggi tentang syariat dan etika. la terus mengikuti tuntutan kebenaran dan kesalehan, sekalipun dalam situasi sulit, dan tidak membiarkan kehidupannya yang suci dinodai tipuan dan kelicikan. Apabila ia mau, ia dapat menghadapi kelicikan dengan kelicikan, dan kegiatan Mu'awiah yang aib dapat dijawab dengan tindakan yang serupa. Misalnya, ketika ia menempatkan penjaga di Sungai Efrat dan menghalangi pasokan air kepada Amirul Mukminin. Kemudian, ketika Amirul Mukminin merebut posisi itu, pasokan air dapat saja diputuskannya dari mereka pula atas dasar untuk melakukan pembalasan. Tetapi Amirul Mukminin tak pemah menodai tangannya dengan tindakan tak manusiawi semacam itu, yang tidak dibenarkaa oleh hukum atau kode etik, walaupun pada umumnya orang memandang tindakan semacam itu terhadap musuh adalah sah dan menamakan karakter bermuka dua semacam itu untuk mencapai keberhasilan suatu gaya kebijakan dan kemampuan memerintah. Tetapi Amirul Mukminin tak pernah berpikir untuk memperkuat kekuasaannya dengan tipuan atau perilaku bermuka dua dalam keadaan bagaimanapun. Maka, ketika orang menasihatinya untuk mempertahankan para pejabat di masa 'Utsman dalam jabatannya dan agar berlaku ramah terhadap Thalhah dan Zubair dengan menempatkan mereka sebagai Gubernur Kflfah dan Bashrah, dan menggunakan kecakapan Mu'awiqah dalam pemerintahan dengan memberikan kepadanya jabatan Gubernur Suriah, Amirul Mukminin menolak nasihat itu dan lebih menyukai perintah hukum agama di atas keperluan duniawi, dan menyatakan secara terbuka tentang Mu'awiqah sebagai berikut,

"Apabila saya mempertahankan Mu'awiah atas apa yang telah diambilnya maka saya akan tennasuk "yang mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong" (QS. 18:51). Orang-orang yang melihat keberhasilan lahiriah tidak peduli untuk mempertimbangkan dengan sarana apa keberhasilan itu dicapai. Mereka mendukung siapa saja yang mereka lihat berhasil dengan sarana kelicikan dan tipuan, dan memandangnya sebagai cakap memerintah, cerdas, ahli politik, berpikiran cemerlang dan sebagainya, sementara orang yang tidak menggunakan cara-cara licik dan tipuan karena terpaut pada perintah-perintah Islam dan ajaran Ilahi dan lebih menyukai kegagalan ketimbang berhasil melalui cara-cara batil, dipandang sebagai tak mengenal politik dan berwawasan lemah. Mereka tidak merasa perlu untuk memikirkan kesulitan dan rintangan apa yang berada di jalan seseorang yang berpegang pada prinsip dan hukum yang mencegahnya terus maju walaupun telah mendekati keberhasilan.