KHOTBAH 219- Amirul Mukminin membaca ayat

"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke liang kubur."[1]

Kemudian ia berkata: 
Betapa jauh tujuan mereka (dari jangkauan), betapa lalai para pengunjung ini, dan betapa sulitnya keadaan mereka. Mereka tidak meng-ambil pelajaran dari hal-hal yang penuh pelajaran, tetapi mereka mengambilnya dari tempat-tempat yang jauh. Apakah mereka membanggakan tubuh-tubuh nenek moyang mereka yang telah mati, ataukah mereka memandang jumlah orang-orang mati itu sebagai suatu dasar untuk merasa sombong akan jumlah mereka? Mereka hendak menghidupkan tubuh-tubuh yang sudah tak bernyawa dan gerakan yang telah berhenti. Mereka lebih pantas menjadi sumber pelajaran ketimbang sumber kebanggaan. Mereka lebih cocok menjadi sumber kehinaan daripada sumber kemuliaan.

Mereka melihat kepada orang-orang (yang telah mati) itu dengan mata yang berpandangan lemah, dan turun ke dalam liang kejahilan. Sekiranya mereka telah bertanya tentang orang-orang itu dari rumah-rumah yang bobrok dan halaman-halaman yang kosong maka mereka akan sudah mengatakan bahwa mereka masuk ke dalam tanah dalam keadaan sesat, dan Anda pun sedang menuju dengan jahil kepada mereka. Anda memijak-mijak tengkorak mereka, hendak mendirikan bangunan di atas mayat mereka, Anda memakan rumpat yang telah mereka tinggalkan, dan tinggal di rumah-rumah yang telah mereka kosongkan. Hari-hari (yang terletak) di antara mereka dan Anda pun meratapi Anda dan membacakan lagu-lagu sedih atas Anda.

Mereka pendahulu Anda dalam mencapai tujuan itu dan telah tiba di tempat perakan sebelum Anda. Mereka mempunyai kedudukan mulia dan banyak kebanggaan. Mereka para penguasa dan pemegang kedudukan. Sekarang mereka telah memasuki celah di mana bumi menutupi mereka dari atas, dan sedang memakan daging mereka dan meminum darah mereka. Mereka berbaring di liang-liang kubur mereka tanpa nyawa, tak ada lagi pertumbuhan, dan tersempunyi, tak dapat ditemui. Datangnya bahaya tidak menakutkan mereka, dan sulitnya keadaan tidak menyusahkan mereka. Mereka tidak peduli akan gempa bumi, tidak pula mereka peduli akan guntur. Mereka telah pergi dan tidak diharapkan kembali. Mereka ada tetapi tidak kelihatan. Mereka (dulu) bersatu tetapi kini tersebar. Mereka (dahulu) bersahabat dan sekarang berpisah.

Riwayat mereka tidak diketahui dan rumah-rumah mereka sepi, bukan karena panjangnya waktu atau jauhnya jarak, tetapi karena mereka telah dibuat meminum cawan (kematian) yang telah mengubah pembicaraan mereka menjadi kebungkaman. Seakan-akan mereka jatuh tertidur. Mereka saling bertetangga yang tidak saling mencintai, atau sahabat yang tidak saling bertemu. Ikatan dari saling kenal mereka telah meluntur dan hubungan persahabatan mereka telah terpotong remuk. Karena itu maka setiap orang dari mereka kesepian walaupun mereka dalam suatu kelompok, dan mereka orang-orang asing, walaupun bersahabat. Mereka tidak menyadari pagi setelah malam, dan sore setelah siang. Malam atau siang ketika mereka berangkat telah menjadi selalu ada bagi mereka.2[2] Mereka mendapatkan bahaya-bahaya dari tempat tinggal mereka lebih parah daripada yang mereka khawatirkan, dan mereka menyaksikan bahwa tanda-tandanya lebih besar daripada yang mereka duga. Kedua tujuan itu (yakni surga dan neraka) telah direntangkan bagi mereka sampai ke titik di luar jangkauan takut atau harapan. Sekiranya mereka dapat berkata-kata, mereka akan menjadi bisu untuk menggambarkan apa yang mereka saksikan atau mereka lihat.

Walaupun jejak-jejak mereka telah dihapus dan kabar-kabar mereka telah berhenti (beredar), mata mampu menarik suatu pelajaran, bila mereka melihat kepadanya, telinga pikiran mendengar mereka, dan mereka berbicara tanpa mengeluarkan kata-kata. Maka, mereka katakan bahwa wajah-wajah gagah telah dihancurkan dan tubuh-tubuh halus telah berlumur tanah. Kami telah memakai kain kapan yang telah menjadi gombal. Sempitnya kubur telah menguasai kami dan keterasingan telah menyebar di kalangan kami. Tempat kediaman kami yang sepi telah diruntuhkan. Keindahan tubuh kami telah lenyap. Wajah kami yang dikenal telah menjadi menjijikkan. Tinggalnya kami di tempat-tempat keterasingan telah menjadi lama. Kami tidak mendapatkan kelegaan dari kepedihan, tidak pula keluasan dari kesempitan.

Sekarang, bila Anda gambarkan mereka dalam pikiran Anda, atau apabila tirai yang menyembunyikan mereka disingkirkan dari mereka untuk Anda, dalam keadaan ini ketika telinga mereka telah kehilangan daya dan menjadi tuli, mata mereka telah dipenuhi debu dan tenggelam ke dalam, lidah mereka yang dahulu sangat giat telah terpotong terpenggal-penggal, hati mereka yang dahulunya selalu terjaga telah menjadi tak bergerak di dada mereka, pada setiap anggota mereka suatu pembusukan yang khusus telah terjadi yang telah mengubah bentuknya, dan telah membuka jalan bagi bencana terhadapnya, semua ini terbaring tak berdaya, tanpa tangan untuk menolong mereka dan tanpa hati untuk merasa susah atas mereka, (maka) tentulah Anda akan melihat kesusahan hati (mereka) dan kotornya mata (mereka).

Setiap kesusahan mereka adalah sedemikian sehingga kedudukannya tidak betubah dan kesusahan itu tidak menjauh. Betapa banyak tubuh yang bermartabat dan kecantikan yang mencengangkan yang telah ditelan bumi, walaupun di dunia ia menikmati kesenangan yang amat besar dan dipelihara dalam kehoraiatan. la berpegang erat pada kesenangan (bahkan) di saat kesusahan. Apabila kesusahan menimpanya ia raencari perlindungan dalam hiburan (yang diambil) melalui kesenangan-kesenangan hidup dan permainan dan pertandingan. la tertawa kepada dunia sementara dunia menertawakannya karena kehidupannya penuh kelalaian. Kemudian waktu memijak-mijaknya seperti duri-duri, hari-hari melemahkan tenaganya, dan kematian mulai melihatnya dari dekat. Kemudian ia terkejar oleh kesusahan yang belum pernah dirasakannya, dan penyakit muncul di tempat kesehatan yang dahulu dimilikinya.

la kemudian berpaling kepada apa yang untuk itu tabib telah membuatnya terbiasa, yakni menekan (penyakit) yang panas dengan (obat) yang dingin, dan menyembuhkan yang panas dengan obat dingin, tetapi hal-hal yang dingin itu tidak melakukan sesuatu selain memperparah sakit yang panas, sedang obat yang panas tidak berbuat apa-apa selain meningkatkan kedinginan, tidak pula ia tnendapatkan keugaharian dalam tubuhnya melainkan setiap penyakitnya bertambah sehingga tabib-tabibnya menjadi tak berdaya, para perawatnya menjadi benci dan kaumnya sendiri merasa jijik menggambarkan penyakitnya, mengelak dari menjawab orang-orang yang menanyakannya dan bertengkar di hadapannya tentang berita serius yang telah mereka sembunyikan dari dia. Demikianlah, seseorang akan mengatakan, "keadaannya adalah apa adanya" dan menghibur mereka dengan harap-an akan kesembuhannya, sedang seorang lain akan menasihatkan supaya bersabar ketika kehilangan dia, mengingatkan kepada mereka bencana-bencana yang menimpa generasi-generasi yang lebih dini.

Dalam keadaan ini, ketika ia sedang siap untuk berangkat dari dunia dan meninggalkan orang-orang yang dicintainya, ketersedakan yang demikian parah melandanya sehingga kesadarannya menjadi kebingungan dan kelembaban lidahnya mengering. Sekarang banyak pertanyaan penting yang jawabannya ia tahu tetapi ia tak dapat mengucapkannya, dan banyak suara yang menyakitkan bagi hatinya yang ia dengar tetapi tetap (tak bergerak) seakan-akan ia tuli pada suara yang lebih tua yang biasa ia hormati atau yang lebih muda yang biasa ia belai. Perihnya kematian terlalu mengerikan untuk diliput oleh penggambaran atau untuk dinilai oleh hati manusia di dunia ini. •

--------------------------------------------------------------------------------

[1] Al-Qur'an, surah at-Takâtsur, 102:1-2. Sebab turunnya ayat ini ialah ketika suku Bani 'Abdu Manâf dan Bani Sahm saling menyombong tentang kelimpahan kekayaan mereka dan orang sesukunya, dan untuk membuktikan bahwa jumlah mereka masing-masing lebih banyak, mereka memasukkan orang-orang mereka yang telah mati pula. Sehubungan dengan itu ayat ini diturunkan, yang maksudnya bahwa banyaknya kekayaan dan mayoritas dalam jumlah telah membuat Anda lupa bahwa Anda menghitung orang mati juga bersama orang hidup. Ayat ini juga dipandang bermakna bahwa kelimpahan harta dan keturunan telah membuat Anda lupa sampai Anda masuk kubur, tetapi ucapan Amirul Mukminin di atas itu mendukung makna yang pertama.

[2] Ini berarti bahwa bagi orang yang mati di siang hari, saat itu selalu siang, sedang bagi orang yang mati di malam hari kegelapan malam tak pernah terusir, karena mereka berada di suatu tempat di mana tidak ada peredaran bulan dan matahari, dan tak ada pergiliran malam dan siang. Makna yang sama telah diungkapkan oleh seorang penyair:

Pastilah ada hari tanpa malam, 

Atau malam yang datang tanpa siang.