KHOTBAH 232

Dzi'lib al-Yamami telah meriwayatkan dari Ahmad ibn Qutaibah, dari 'Abdullah ibn Yazid dari Malik ibn Dihyah yang berkata bahwa mereka ada bersama Amirul Mukminin as ketika timbul diskusi tentang perbedaan manusia (dalam wajah dan perilaku) dan kemudian Amirul Mukminin as berkata:


Mereka saling berbeda karena sumber-sumber dari lempung (dari mana mereka diciptakan).[1] Ini disebabkan entah mereka dari lempung asin atau manis atau dari tanah kasar atau tanah lembut. Mereka saling menyerupai atas dasar kedekatan tanah mereka, dan berbeda sesuai dengan perbedaannya. Karena itu kadang-kadang seseorang yang berwajah gagah, lemah dalam kecerdasan, orang bertubuh jangkung kurang berani, orang bajik berwajah bumk, orang bertubuh pendek berpandangan jauh, orang berwatak baik mempunyai tingkah buruk, orang yang hatinya bingung mempunyai pikiran mencengangkan dan orang berlidah tajam berhati lemah. •

--------------------------------------------------------------------------------

[1] Amirul Mukminin telah menggambarkan perbedaan dalam wajah dan karakter manusia sehubungan dengan perbedaan lempung dari mana mereka dibuat dan sesuai dengan itu wajah mereka dibentuk dan kerangka karakter mereka dibangun. Oleh karena itu, sejauh asal lempungnya akrab, kecenderungan mental dan imajinasinya, perbedaan dalam kecenderungannya akan sejauh itu. Dengan asal sesuatu dimaksudkan apa yang padanya tergantung keberadaannya, tetapi bukan menjadi penyebabnya. Kata thîn adalah bentuk jamak dari thînah yang berarti asal atau basis. Di sini thînah berarti mani yang setelah melewati berbagai tahap perkembangan muncul dalam bentuk manusia. Asalnya berarti unsur dari mana bahan itu tercipta dengan pertolongan pembentukan mani. Jadi, dengan tanah asin, manis, lembut atau keras, rujukannya ialah kepada konstituen-konstituen elementer ini. Karena konstituen-konstituen elementer ini mengandung sifat yang berbeda-beda maka mani yang tumbuh darinya pun mengandung ciri dan sifat yang khas yang pada akhirnya menunjukkan diri dalam perbedaan wajah dan perangai dari yang terlahir darinya.

Ibn Abil Hadid menulis dalam Syarh Nahjul Balâghah, XIII, h. 19 bahwa asal kata dari thîinah mengandung makna faktor-faktor yang bersifat "memelihara" yang berbeda dalam sifat-sifatnya dengan pendapat Plato dan para filosof lainnya. Alasan menamakannya "asal-usul thînah" ialah bahwa mereka merupakan suaka bagi tubuh manusia dan mencegah tercerai-berainya unsur-unsur. Sebagaimana adanya suatu benda terkait pada basisnya, adanya tubuh yang terbuat dari unsur-unsur ini pun terkait pada faktor-faktor "pemelihara". Selama faktor-faktor "pemelihara" itu ada, tubuh pun selamat dari kecerai-beraian dan disintegrasi, dan unsur-unsur itu pun kebal dari kecerai-beraian dan keterorakan. Bilamana ia meninggalkan tubuh, unsur-unsur itu tercerai-berai.

Menurut keterangan ini, kata-kata Amirul Mukminin berarti bahwa Allah telah menciptakan berbagai faktor asli yang sebagian di antaranya adalah jahat dan sebagian bajik, sebagian lemah dan sebagian kuat, dan masing-masing akan bertindak sesuai dengan faktor aslinya. Apabila ada persamaan dalam kecenderungan dua orang, sebabnya ialah faktor-faktor mereka sama, dan apabila kecenderungan mereka berbeda adalah itu karena faktor-faktor mereka tidak mempunyai kesamaan. Tetapi kesimpulan ini tidak benar, karena kata-kata Amirul Mukminin tidak hanya merujuk perbedaan dalam perangai dan perilaku melainkan juga mengenai wajah dan bentuk, dan perbedaan wajah dan bentuk tak mungkin merupakan akibat dari perbedaan faktor-faktor asli.

Bagaimanapun juga, apakah faktor-faktor asli itu penyebab perbedaan dalam wajah dan perilaku atau konstituen-konstituen asli, kata-kata ini nampaknya mengantarkan untuk menafikan kemauan dan untuk membuktikan paksaan (takdir) dalam tindakan manusia, karena apabila kapasitas manusia untuk berpikir dan bertindak tergantung pada thînah maka ia akan dipaksa untuk berlaku secara tertentu yang karenanya ia tak pantas menerima pujian atas perbuatan baiknya dan tak dapat disalahkan atas kebiasaan buruknya. Tetapi hipotesa ini tidak benar. Karena, sebagaimana telah diakui secara mapan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dalam ciptaan setelah menjadi ada, sebagaimana la mengetahui sebelum penciptaannya. Jadi, la tahu tindakan apa yang akan dilakukan manusia sesuai dengan thînah-nya. dari kehendak bebasnya dan apa yang akan ditinggalkannya. Oleh karena itu, Allah memberikan kepadanya kapasitas untuk bertindak sesuai dengan kebebasan kehendaknya, dan menciptakannya dari thînah yang sesuai. Thînah ini bukan penyebab tindakan-tindakannya sampai merenggut kehendak bebasnya; arti menciptakan dari thînah yang sesuai ialah bahwa Allah tidak dengan paksa menghalangi jalan manusia melainkan membiarkannya melangkah di jalan yang dikehendakinya untuk melakukan kehendak bebasnya sendiri.